Gadis di Kota Tua yang Lapuk
Gambar
tersebut memperlihatkan seorang gadis yang tengah berdiri sambil memegang
payung di pinggir jalan sudut kota yang sepi. Ia berdiri di trotoar jalan.
Jalan aspal itu berwarna abu kehitaman. Di sekelilingnya berdiri gedung –
gedung tua yang berdempetan dengan dinding yang berlumut tapi masih kokoh
diterpa cuaca yang tak menentu. Gedung – gedung tua itu sudah tak layak lagi
untuk berdiri dan tak layak untuk dihuni, mungkin jika hujan dan panas terus
menerus menghantamnya lama kelamaan akan membuatnya roboh. Sungguh kota tua
dengan gedung – gedung tua yang mengkhawatirkan.
Senja
menuju malam gadis itu baru saja pulang dari tempat kerjanya, suara angin yang
menderu membuatnya cemas. Ketika gadis itu keluar dari kantornya, rintik –
rintik hujan mulai turun, sesekali ada cahaya kilat disertai bunyi petir
menyusul. Ia segera membuka payungnya, payung itu berwarna cokelat tua, warna
kesukaannya. Setiap pulang kerja ia selalu dijemput oleh kakaknya menggunakan
mobil ayahnya. Gadis itu tinggi semampay, rambutnya keriting pendek. Beberapa
helai rambutnya tertiup angina. Gerimis hujan yang mengenai rambutnya seperti
embun yang melekat pada daun di pagi hari. Ia memakai kemeja ungu pendek yang
tipis dan rok mini serta sepatu high heel berwarna hitam.
Waktu
menunjukkan pukul 17.40 tapi kakaknya belum tiba juga. Ia berdiri di antara gemuruh
hujan yang semakin deras. Gadis itu lupa membawa jaketnya, tubuhnya gemetar dan
menggigil menahan dinginnya hujan. Bunyi gemercik hujan yang turun memecah
kesunyian, dan hujan membasahi jalan aspal yang sepi. Tak ramai orang berlalu
lalang, hanya ada seorang pria dewasa dan wanita tua di seberang jalan itu.
Mereka berjalan di area yang diteduhi oleh bangunan – bangunan tua itu.
Tak
kelihatan matahari senja, yang ada hanya langit mendung dan awan hitam. Dari
kejauhan tampak lampu mobil tua yang menyorot sebagian badan jalan. Keadaan di
sekeliling bangunan – bangunan tua itu sangat gelap. Tak ada pohon yang rindang
ataupun taman yang hangat. Seperti sebuah kota tua yang tak berpenduduk.
Gadis
itu terus berdiri di trotoar jalan. Sesekali ada mobil yang lewat dengan
kecepatan yang cukup tinggi hingga
genangan air hujan di jalan itu
menciprat kakinya. Sebal rasanya tapi tak ada gunanya marah.
Ia
menunggu kakaknya dengan sabar. Terbayang olehnya disaat orang – orang duduk
dan berkumpul di rumahnya dengan keluarganya dekat perapian yang hangat sambil
meminum cokelat panas dan bersenda gurau, ia justru berdiri seorang diri di
trotoar jalan diantara derasnya hujan dengan sebuah payung yang dipegang erat-
erat. Pertengahan November hujan memang turun dengan frekuensi yang cukup sering.
Setiap hari selalu turun hujan. Bahkan terkadang sore sampai pagi hari hujan
turun tanpa henti.
Kota
itu tampak begitu suram dan menyeramkan, gedung – gedung lapuk yang menjulang
tinggi tampak misterius. Lampu – lampu penyorot jalan yang ada di bahu jalan
ada yang menyala dan ada yang tidak,
menyala pun hanya sebatas remang – remang kuning yang malah membuat penglihatan
semakin buram. Gadis itu tak dapat melihat apapun di sekitarnya dengan jarak
lebih dari 10 meter karena kabut tebal di sebelah utara semakin membatasi jarak
pandang di sekitar tempat itu. Di ujung jalan ada sebuah gerobak sampah yang
sampahnya berserakan di sekeliling gerobak itu dan dikerubungi lalat. Sangat
kotor dan menjijikan. Benar – benar kota tua yang gelap, sepi, kotor dan
menyeramkan.
Gadis
itu merasa sangat bosan bekerja di tempat itu karena keadaan di sana sangat
membosankan dan tidak indah untuk dipandang. Gadis itu tidak betah berlama –
lama bekerja di tempat itu.
Gadis
itu memandang setiap sudut kota dengan lesu. Mungkin saja beberapa tahun silam
kota ini tidak seseram yang terlihat sekarang. Kota tua ini tampak tidak
terpelihara, tidak ada pemandangan hijau yang menyegarkan mata. Memandang
sekeliling kota itu hanya membuat badan yang letih setelah bekerja seharian menjadi
semakin lesu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar