PERILAKU
MENYONTEK, DAMPAK DAN
PENANGGULANGANNYA
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Bimbingan dan Konseling
dosen pengampu Dr. Euis Kurniati, M.Pd.
MAKALAH
Disusun oleh:
Alif Fauzia Restiadi
Ai Kokoy Koyyimah
Anis Islamiyah
M. Luthfiana
Nadia Amira
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah penelitian Bimbingan dan Konseling yang berjudul “Perilaku Menyontek, Dampak dan
Penanggulangannya” dengan tepat waktu.
Dalam penulisan makalah ini kami selaku penulis, tidak sedikit menemukan
beberapa hambatan. Namun berkat kerja keras, dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Sehubungan dengan itu kami
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Euis Kurniati, M.Pd.
2. Teman – teman Prodi Pendidikan Akuntansi.
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Terimakasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya agar dapat
menjadi solusi dari sebagian permasalahan di Universitas Pendidikan Indonesia
dan dapat bermanfaat juga bagi
pembaca pada umumnya.
Bandung, 17 April 2017
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menyontek merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di
kalangan pelajar maupun mahasiswa. Menurut Donald D. Carpenter (2006), menyontek
sering disebut sebagai perilaku ketidakjujuran akademik (Dody Hartanto, 2012:
10). Menyontek sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu. Saat ini perilaku
menyontek tidak hanya terjadi pada jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA saja.
Melainkan terjadi pula pada jenjang Perguruan Tinggi dan sekolah Pascasarjana.
Baik itu di kota maupun di desa, dan di sekolah maju ataupun sekolah yang
biasa-biasa saja.
Setiap individu atau
pelajar menginginkan prestasi belajar yang baik, oleh karena itu segala cara
pun dilakukan baik itu cara positif maupun negatif. Cara positifnya dapat
melalui belajar dengan giat, tekun dan jujur serta percaya diri saat
mengerjakan tes akademik. Sedangkan cara negatifnya adalah dengan menyontek.
Selain keinginan untuk dapat berprestasi, penyebab lain yang dapat menimbulkan
perilaku menyontek ini adalah ingin menghindari kegagalan, tekanan dari teman
sebaya maupun orang tua, dan tidak percaya diri ketika mengikuti ujian sehingga
pelajar merasa terdesak dan tertekan, yang pada akhirnya mereka terdorong untuk
melakukan tindakan menyontek.
Menurut teori
perkembangan moral Kohlberg, perilaku menyontek lebih terkait dengan masalah
pembentukan Kode Moral (Dody Hartanto, 2012: 5). Menyontek dapat merugikan diri
sendiri dan orang lain. Karena menyontek dapat mengikis pribadi jujur dalam
diri seorang pelajar, sehingga dapat menghambat seorang pelajar mengoptimalkan
kemampuannya dalam belajar dan memperoleh hasil belajar. Perilaku menyontek
juga dapat menyebabkan ketidakadilan pada proses penilaian, sehingga itu dapat
merugikan orang lain yang bertindak jujur. Oleh karena itu, kami akan membahas
mengenai perilaku menyontek dalam makalah ini beserta solusi yang tepat untuk
mengatasi masalah perilaku menyontek di kalangan pelajar.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian perilaku menyontek?
2.
Bagaimanakah gejala dan bentuk menyontek itu?
3.
Mengapa menyontek bisa terjadi?
4.
Apa dampak yang terjadi pada orang yang menyontek?
5.
Bagaimana upaya penanggulangan perilaku menyontek di kalangan pelajar?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian perilaku menyontek.
2.
Untuk menjelaskan gejala dan bentuk menyontek.
3.
Untuk mengetahui faktor penyebab seseorang menyontek.
4.
Untuk memaparkan dampak yang terjadi pada orang yang menyontek.
5.
Untuk mengetahui upaya penanggulangan perilaku menyontek di kalangan
pelajar dengan melakukan
penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perilaku Menyontek
Menyontek atau ngepek
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta (Dody
Hartanto, 2012: 10) adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan
orang lain sebagaimana aslinya. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Pustaka Pheonix, 2009), menyontek berasal
dari kata sontek yang berarti melanggar, menocoh, menggocoh yang artinya
mengutip tulisan, dan lain sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak. Taylor
dan Carol (Dody Hartanto,
2012) menyontek didefinisikan sebagai mengikuti ujian dengan melalui jalan yang
tidak jujur, menjawab pertanyaan dengan cara yang tidak semestinya, melanggar
aturan dalam ujian atau kesepakatan.
Dari
berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa menyontek adalah
suatu perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang, dan menghalalkan
segala cara yang dilakukan seseorang untuk mencapai nilai yang terbaik dalam
menyelesaikan tugas terutama pada saat ulangan
atau ujian. Perilaku menyontek
dalam proses akademik merupakan fenomena yang dapat digambarkan secara psikologis,
yaitu masalah belajar, perkembangan, dan motivasi.
B. Gejala dan Bentuk-bentuk Menyontek
1.
Gejala Menyontek
a. Prokrastinasi
dan Self-efficacy
Prokrastinasi menjadi
gejala yang paling sering ditemui pada siswa yang menyontek. Hal ini terjadi
karena, siswa yang diketahui menunda-nunda pekerjaan memiliki kesiapan yang
rendah dalam mengahadapi ujian. Siswa yang menunda-nunda pekerjaan pada
akhirnya akan memiliki pengetahuan yang rendah mengenai ujian yang dihadapi dan
akan terdorong untuk menyontek.
Self-efficacy ini
sangat penting dimiliki oleh seorang siswa, terutama saat mengerjakan ujian.
Dengan adanya keyakinan pada kemapuan diri maka hal tersebut akan mempengaruhi
kinerja siswa dalam mencapai keberhasilan di dalam ujian. Seorang siswa yang
memiliki self-efficacy yang baik, ketika dalam menghadapi ujian
akan memiliki pengharapan akan nilai yang bagus dan hasil yang memuaskan. Sebaliknya,
bagi siswa yang mempunyai self-efficacy yang rendah pada saat menghadapi
ujian akan merasakan perasaan cemas, menunjukkan sikap yang tidak tenang karena
tidak mampu untuk menyelesaikan soal-soal ujian, sehingga siswa tersebut akan
merasa putus asa dalam menghadapi rintangan saat ujian dilaksanakan dan
akhirnya memutuskan untuk menyontek sebagai alternatif terakhir.
b. Kecemasan
yang Berlebihan
Kecemasan ialah suatu
keadaan atau kondisi emosi yang tidak menyenangkan dan biasanya kecemasan yang
normal disebut khawatir atau was-was, yaitu rasa takut yang tidak jelas, tetapi
terasa sangat kuat (Sarlito Wirawan Sarwono, 2012: 134). Kecemasan yang berlebihan pada siswa
memberikan stimulus pada otak untuk tidak dapat bekerja sesuai dengan
kemampuanya. Karena keadaan ini, siswa terdorong untuk melakukan perilaku
menyontek demi ketenangan dirinya. Studi yang dilakukan oleh Malinowski & Smith
(1985, dalam Dody Hartanto, 2012: 7)
memaparkan bahwa kecemasan yang berlebihan pada saat tes mengakibatkan
seseorang menyontek.
c. Motivasi
Belajar dan Berprestasi
Siswa yang memiliki
motivasi berprestasi yang rendah maka akan menjadi hal yang dapat mendorong
siswa untuk menyontek. Siswa yang memiliki motivasi berprestasi akan berusaha
menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang diberikan kepadanya malalui usahanya
sendiri dengan sebaik-baiknya. Dan siswa yang cenderung memiliki motivasi
belajar yang rendah akan menyelesaikan pekerjaan yang diberikan dengan apa
adanya dan lebih memilih untuk meminta bantuan dari orang lain.
Teori motivasi menjelaskan
bahwa menyontek bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi tertekan
dan tidak percaya diri, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi
jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau
prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka akan
menimbulkan hasrat untuk menyontek.
d. Keterikatan
Pada Kelompok
Siswa yang tergabung dalam
kelompok akan merasa ada ikatan yang kuat di antara
mereka, yang mengharuskan mereka untuk saling tolong menolong dan berbagi,
termasuk dalam menyelesaikan tugas atau tes dan ujian yang sedang dilakukan. Keterikatan
kelompok ini menimbulkan perasaan tanggung jawab siswa secara bersama-sama
untuk saling membantu meskipun melanggar aturan dan merugikan.
Keterikatan pada kelompok
ini juga berkaitan dengan konformitas. Konformitas ini juga dapat diartikan
sebagai perilaku mengikuti pendapat teman-teman sebaya. Jadi, karena siswa
ingin diterima oleh teman-temannya di dalam kelompok maka mereka akan melakukan
apa yang diminta kelompok termasuk dalam bekerja sama di saat ujian. Selain itu, siswa juga takut akan diasingkan atau dijauhi
oleh teman-temannya kerena dianggap tidak kompak.
e. Keinginan
Akan Nilai Tinggi
Siswa juga didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi yang merupakan gejala yang juga dapat
menyebabkan perilaku menyontek. Siswa yang menyontek berfikiran bahwa akan
lebih mudah menggapai cita-cita di masa yang akan datang jika mereka tidak
gagal dalam mengahadapi ujian atau pekerjaan yang diberikan. Pendidikan di
Indonesia juga menggunakan nilai sebagai hasil evaluasi belajar siswa yang
mengakibatkan masyarakat memandang bahwa prestasi belajar hanya dari pencapaian
nilai yang tinggi dan bukan pada prosesnya. Maka untuk menghindari kegagalan dalam ujian tersebut
siswa menggunakan cara menyontek agar mendapatkan nilai yang tinggi.
f. Pikiran
Negatif
Pikiran negatif ini seperti
ketakutan dikatakan bodoh dan dijauhi oleh teman-teman, ketakutan dimarahi oleh
orang tua dan guru, dan pemikiran negatif lainnya. Apabila dia mendapat nilai
di bawah standar rata-rata maka, dia akan
mendapatkan cap atau label sebagai anak bodoh dan dijauhi oleh teman-temannya
sehingga timbulah gejala menyontek pada siswa tersebut.
g. Indikasi
munculnya perilaku menyontek juga dapat diawali dengan adanya hubungan yang tidak baik
antara siswa dengan orang tua.
Orang tua yang memberikan
dorongan dan kepercayaan kepada siswa akan dapat meminimalisir perilaku
menyontek. Hal ini terjadi karena tidak adanya rasa tertekan dan rasa takut
siswa terhadap orang tuanya.
h. Harga
Diri dan Kendali Diri
Siswa dengan harga diri
yang tinggi dan berlebihan juga memilih untuk melakukan perbuatan menyontek.
Menyontek ini bertujuan untuk menjaga agar harga dirinya tetap terjaga dengan
mendapatkan nilai yang tinggi meskipun dilakukan dengan cara yang salah. Selain
itu, siswa yang menyontek juga menunjukkan adanya gejala pengendalian diri yang
rendah. Seseorang yang memiliki pengendalian diri yang baik akan memperkecil
kemungkinan untuk menyontek.
i.
Perilaku Impulsive
dan Cari Perhatian
Di dalam memahami perilaku
menyontek sering muncul dua buah pendekatan, yaitu pendekatan impulsif dan
pendekatan sensasi. Siswa yang diakatakan impulsive jika ia membuat
keputusan lebih banyak didasarkan pada dorongan dibandingkan memikirkan alasan.
Sedangkan siswa yang memiliki kebutuhan akan sensasi yang berlebihan ketika
siswa sedang tumbuh dan berkembang ditunjukkan dengan melakukan perbuatan
menyontek karena tindakan tersebut dianggap bersifat alami sehingga harus
diikuti untuk dapat terus bertahan hidup.
2.
Bentuk – Bentuk Menyontek
Hetherington dan Feldman (Dody Hartanto,
2012: 17) mencoba mengelompokkan empat bentuk menyontek, yaitu: individualistic-opportunistic, individualistic-planned, social-active, dan social-passive. Berikut ini penjelasan mengenai macam-macam bentuk
perilaku menyontek, yaitu:
a.
Individualistic-opportunistic, dapat dimaknai sebagai perilaku dimana
siswa mengganti suatu jawaban ketika ujian atau tes sedang berlangsung dengan
menggunakan catatan ketika guru keluar dari kelas.
b.
Individualistic-planned, dapat diidentifikasi sebagai menggunakan
catatan ketika tes atau ujian berlangsung, atau membawa jawaban yang telah
lengkap atau dipersiapkan dengan menulisnya terlebih dahulu sebelum
berlangsungnya ujian.
c.
Social-active, adalah perilaku menyontek dimana siswa
menyalin atau melihat atau meminta jawaban dari orang lain.
d.
Social-passive, adalah mengizinkan seseorang melihat atau
menyalin jawabannya.
Studi empiris yang
dilakukan beberapa ahli menunjukkan beberapa bentuk perilaku menyontek pada
siswa, seperti yang terlihat pada Tabel 1.1 (Dody Hartanto, 2012: 17).
Tabel 1.1 Bentuk Menyontek
Usia
|
Peneliti
|
Tahun Penelitian
|
Bentuk Menyontek
|
TK-Kelas 8
|
Brandes
|
1986
|
1)
Menyalin pekerjaan dari orang lain pada saat tes
2)
Melakukan kegiatan plagiat
|
Syer & Shore
|
2001
|
1)
Menyalin secara utuh data dari orang lain
|
|
Sekolah Menengah
|
Brandes
|
1986
|
1)
Menyalin hasil pekerjaan orang lain pada saat tes
dilakukan
2)
Menggunakan catatan kecil pada saat tes atau ujian
dilaksanakan
|
Perguruan Tinggi
|
Baird
|
1980
|
1)
Menyontek pada saat dilaksanakan kuis
2)
Menyontek pada saat tes atau ujian sedang berlangsung
3)
Mengambil keuntungan pada saat dilakukan tes (lemahnya pengawasan)
4)
Memberikan izin kepada orang lain untuk menyalin atau
melihat hasil pekerjaan
5)
Menyalin pekerjaan orang lain pada saat tes dilakukan
6)
Plagiarism
|
Dawkins Robinson,
Amburgey, Swank,& Faulkner
|
2004
|
1)
Menyalin dari internet
2)
Menyalin pekerjaan siswa lain pada saat ujian sedang
berlangsung
3)
Membuat jawaban untuk dapat disalin oleh siswa lain
4)
Menerima jawaban dari orang lain yang telah
menyelesaikan ujian
5)
Melakukan kolaborasi pada ujian take-home (padahal hal tersebut dilarang)
|
|
Bennett
|
2005
|
1)
Plagiarizing, meliputi :
2)
Menyalin sebagian kecil kalimat
3)
Menyalin sebagian besar kalimat
4)
Menyalin seluruh paragraf
5)
Menyalin beberapa paragraf
6)
Mengotak-atik referensi (Making up references)
7)
Melakukan kerja sama ketika hal tersebut tidak diizinkan
|
C. Faktor Penyebab Timbulnya Perilaku Menyontek
Menurut Brown dan Choong (2003),
faktor-faktor perilaku menyontek ada empat, yaitu:
1. Ingin mendapatkan nilai dengan cara yang mudah
Faktor pertama dari
perilaku menyontek ini yaitu dimana siswa ingin mendapatkan nilai yang baik tanpa
usaha yang keras, sehingga melakukan perilaku ini, bahkan dianggap tidak
merugikan orang lain.
2. Lingkungan pendidikan
Pengaruh lingkungan di
sekolah atau institusi pendidikan lain karena tekanan teman sebaya, budaya
sekolah, budaya bersenang-senang, dan rendahnya resiko untuk ditangkap atau
dihukum jika melakukan perilaku menyontek.
3. Kesulitan yang dihadapi
Kesulitan yang dihadapi
siswa dalam bentuk keterbatasan waktu yang mereka miliki untuk mengerjakan
tugas dan pada kesulitan yang ada pada materi pelajaran. Ini merupakan
kesulitan yang benar-benar dihadapi siswa.
4. Kurangnya kualitas pendidik
Kualitas pendidik juga
merupakan faktor penyumbang terjadinya perilaku menyontek. Siswa melihat tugas,
bahan yang tidak relevan dan sikap guru yang acuh tak acuh, yang menjadi faktor
timbulnya perilaku menyontek.
Faktor-faktor umum yang
menyebabkan terjadinya perilaku menyontek menurut Hutton dan Donald P. French
(Dody Hartanto, 2012, hlm. 31-32) adalah :
1.
Adanya kemalasan pada diri
seseorang
2.
Karena merasa cemas.
3.
Melihat perilaku menyontek
bukan merupakan hal yang yang salah dan merugikan.
4.
Memiliki keyakinan bahwa
perilakunya tidak akan diketahui.
Faktor
menyontek dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dalam perilaku menyontek
adalah kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan
menyontek atau plagiarism, rendahnya self-efficacy, dan status ekonomi
sosial. Faktor eksternal yang turut menyumbang perilaku menyontek adalah
tekanan dari teman sebaya, tekanan dari orang tua, peraturan sekolah yang tidak
jelas dan sikap guru yang kurang tegas.
D. Dampak Perilaku Menyontek
1.
Perilaku menyontek dapat
mendidik siswa untuk berbohong
Menyontek merupakan
termasuk perilaku berbohong baik pada diri sendiri maupun orang lain. Siswa
yang sudah terbiasa menyontek akan terbiasa untuk berbohong tidak hanya ketika
ujian namun juga dapat terbawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari. Menyontek dapat mengikis
pribadi jujur dalam diri seorang pelajar, dapat menghambat seorang pelajar
mengoptimalkan kemampuannya dalam belajar dan memperoleh hasil belajar.
2.
Siswa tidak menghargai
proses belajar
Siswa
yang hanya mengandalkan menyontek ketika ujian, di dalam belajar siswa tersebut
hanya akan bermain-main saja karena bagi mereka yang penting adalah hasil ujian
dan proses belajar tidak penting.
3.
Melahirkan koruptor,
penipu, plagiator, dan penjahat yang menghalalkan segala cara
Karena
menyontek dapat mengikis kejujuran dan mendidik siswa untuk berbohong serta hal
tersebut sudah tertanam di dalan diri siswa, maka akan melahirkan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak baik, seperti koruptor, penipu, plagiator, dan
penjahat yang menghalalkan segala cara.
4.
Tidak mau berusaha sendiri
dan selalu mengandalkan orang lain
Ketergantungan
adalah suatu keadaan di mana seseorang dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya menggantungkan bantuan pihak lain (Hartono dan Boy Soedarmadji,
2013:88). Di dalam belajar, masalah ini dapat menimbulkan penurunan kemampuan
peserta didik atau mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugasnya, sehingga usaha
belajarnya menjadi rendah.
Siswa
yang menyontek biasanya menggantungkan dirinya kepada orang lain, hal ini dapat
mengakibatkan siswa tidak mau berusaha sendiri dan selalu mengandalkan orang
lain dalam berbagai hal.
5.
Malas
belajar, malas berpikir dan merenung, malas membaca dan tidak suka meneliti
Karena
setiap ujian sudah terbiasa tidak belajar sebelum menempuh ujian, maka
lama-kelamaan akan memunculkan perilaku malas belajar, malas berpikir, malas
membaca dan tidak suka meneliti.
6.
Membodohi diri sendiri
Menyontek
termasuk perilaku yang dapat membodohkan diri sendiri. Seorang siswa yang suka
menyontek tidak akan memahami materi pelajaran dan menyontek juga berarti
berbohong pada diri sendiri, hal tersebut akan membuat siswa membodohi dirinya
sendiri.
7.
Mempunyai kepercayaan diri
yang rendah
Siswa
yang menyontek ketika ujian biasanya tidak memiliki rasa percaya diri ketika
menjawab soal-soal ujian sehingga lebih memilih untuk menyontek. Karena terus-menerus
menyontek maka siswa tersebut semakin merasa bahwa dia tidak percaya diri di
dalam ujian maupun tes yang lainnya.
E. Upaya Penanggulangan Perilaku Menyontek di Kalangan Pelajar
1.
Upaya dari Diri
Sendiri
a. Bangkitkan Rasa Percaya Diri (Self-efficacy)
Dengan
membangkitkan rasa percaya diri, seorang siswa akan mampu untuk mandiri dan
tidak tergantung pada orang lain. Siswa yang menyontek biasanya akan terbiasa
untuk bergantung pada orang lain. Oleh karena itu, untuk mengurangi kebiasaan
menyontek, seorang siswa harus dapat meningkatkan rasa percaya dirinya. Jika
siswa sudah memiliki rasa percaya diri yang tinggi maka dia akan percaya akan
kemampuan dirinya ketika menjawab soal-soal ujian. Seorang
siswa yang memiliki self-efficacy yang baik, ketika dalam menghadapi
ujian akan memiliki pengharapan akan nilai yang bagus dan hasil yang memuaskan
dengan mempersiapkan diri sebelum dilakukannya ujian.
b. Arahkan Self-consept ke Arah yang Lebih
Proporsional
Jika
seorang siswa sudah memiliki konsep diri yang positif, maka dia akan dapat
mengontrol dirinya agar tidak menyontek ketika ujian maupun tes lainnya.
Hubungan antara tingginya konsep diri yang dimiliki seorang siswa dengan
intensi siswa menyontek sudah dibuktikan oleh Uni Setyani (2007:80) bahwa pada
siswa di SMA Negeri 2 Semarang, sebanyak 21,5% siswa menyontek karena konsep
diri yang rendah.
Pudjijogjanti (1985:26;
dalam Uni Setyani, 2007:75) menyatakan bahwa siswa memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam memahami dan melaksanakan tugas-tugas sekolah. Bentuk
pendekatan yang dilakukan siswa untuk memahami dan melaksanakan tugas
dipengaruhi oleh pandangan siswa pada diri dan lingkungannya, yang berarti
konsep diri berperan penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas belajar
siswa dalam usahanya meraih prestasi.
c. Biasakan Berpikir Lebih Realistis dan Tidak Ambisius
Di
dalam belajar maupun ujian hendaknya seorang siswa tidak hanya mementingkan
tujuan akan nilai yang tinggi dan prestasi yang baik saja. Di dalam belajar
yang diharapkan terhadap siswa adalah mampu menguasai apa yang di pelajari
bukan hanya berorientasi pada hasil akhirnya.
1) Upaya Orang Tua
Menurut Hurlock (1999:132; dalam Uni Setyani, 2007:76)
pandangan orang tua tentang kemampuan dan prestasi anak akan mempengaruhi cara
pandang anak terhadap dirinya. Orang tua yang terlalu mengaharapkan anaknya
mendapatkan prestasi yang baik akan mempengaruhi anak untuk memperoleh nilai
yang baik bagaimanpun caranya, termasuk menyontek.
a)
Orang tua hendaknya
mengenali potensi dan kemampuan anaknya. Jika anak kemampuan yang rendah jangan
terlalu menuntut anak untuk mendapatkan nilai tinggi.
b)
Orang tua hendaknya juga
senantiasa menciptakan lingkungan psikologis yang mampu mempertahankan
terwujudnya konsep
diri positif dengan memberi penghargaan terhadap prestasi yang sudah diraih
anak.
c)
Orang tua diharapkan agar
tidak mematok atau memberi target nilai yang harus didapatkan oleh anak. Orang
tua hendaknya memberikan perhatian dan mengontrol proses belajar anak, memberi
pengertian dan motivasi pada anak tentang pentingnya proses belajar sehingga
anak tidak berorientasi pada hasil atau nilai sehingga dapat meminimalisir
intensi menyontek.
d)
Orang tua hendaknya juga
tidak menggunakan pola asuh yang otoriter dalam mendidik anak sehingga anak
percaya diri di dalam bergaul dan bersosialisasi.
2) Upaya
Guru
Guru hendaknya meningkatkan
pengawasan dan memberikan hukuman tegas pada siswa yang menyontek dan
meyikapinya dengan serius sehingga siswa tidak berani mengulangi perbuatannya.
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh guru untuk mengurangi intensitas menyontek
adalah sebagai berikut:
a)
Membentuk
hubungan saling menghargai antara guru dengan siswa, serta menolong siswa
bertindak jujur dan tanggung jawab.
b)
Membuat
dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami
peraturan dari tindakan guru.
c)
Mengembangkan
kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan,
melaksanakan cara belajar siswa.
d)
Tidak
membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran
atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
e)
Bertanggung
jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri
sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
f)
Menggunakan
tes subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
g)
Menekankan
“belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti
belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah dan nilai akan berarti bila murni
dengan kemampuan siswa sendiri.
3) Upaya oleh Sekolah
Berkaitan dengan
pelaksanaan ujian, sekolah diharapkan membuat sistem ujian dan menggunakan
bentuk soal yang meminimalisir intensi menyontek. Sistem ujian diharapkan
memperkecil kemungkinan terwujudnya perilaku menyontek, misalnya dengan
mengatur jarak antar siswa dan membuat soal ujian yang berbeda-beda antar
kelas. Sejak siswa mulai masuk, sekolah diharapkan menanamkan pemahaman pada
siswa bahwa menyontek merupakan suatu bentuk ketidakjujuran yang dapat
berdampak pada aspek kehidupan lain.
McCabe dan Pavela (1997;
Linda Klebe Trevino, 2001; dalam Dody Hartanto, 2012:46) mengemukakan 10
prinsip yang harus dilakukan dalam menangani masalah menyontek, yaitu sebagai
berikut:
a)
Memberikan
penegasan atau penguatan tentang pentingnya integritas akademik,
b)
Mendorong
kecintaan belajar,
c)
Memperlakukan
siswa sebagai diri mereka sendri,
d)
Membantu
terciptanya perkembangan lingkungan yang saling percaya,
e)
Mendorong
tanggung jawab siswa dalam meraih integritas akademik,
f)
Melakukan
klarifikasi atas harapan siswa,
g)
Membuat
atau menciptakan bentuk tes yang adil dan relevan,
h)
Mengurangi
kemungkinan terjadinya ketidakjujuran akademik,
i)
Melawan
ketidakjujuran akademik yang terjadi, dan
j)
Membantu
mendefinisikan dan mendukung terciptanya standar integritas akademik.
k) Menyontek
juga berkaitan dengan pola pikir siswa terhadap perilaku menyontek.
F. Guru BK atau Konselor
Untuk menanggulangi perilaku menyontek, guru
BK dapat menggunakan Konseling Kognitif Perilaku (KKP) dan konseling REBT
berbasis kelompok.
1. Konseling
Kognitif Prilaku (KKP)
Konseling kognitif perilaku
digunakan untuk menangani masalah kecemasan pada siswa. Salah satunya kecemasan
yang akhirnya menyebabkan siswa menyontek. Konseling kognitif perilaku ini
berkaitan dengan kognitif (pemikiran) dan perilaku seseorang dalam kehidupan.
Filosofi yang digunakan dalam Konseling Kognitif Perilaku adalah perasaan dan
perilaku menusia ditentukan oleh bagaimana ia memberi arti (makna) pada setiap
kejadian, masalah, dan situasi yang dihadapi (Dody Hartanto, 2012:49). Jadi
perilaku manusia dikaitkan dengan bagaimana manusia itu memaknai setiap
kejadian di dalam hidupnya.
Menurut Oemaryadi (Mubyar,
2009; dalam Dody Hartanto, 2012:50), teori KKP didasarkan pada pola pembentukan
manusia melalui progran Stimulus-Kognisi-Respons (SKR) yang saling terkait dan
membentuk jaringan dalam otak, dimana proses kognitif menjadi faktor penentu
dalam menjelaskan bagaimana manusia merasa, berpikir, dan bertindak.
Tujuan dari Konseling
Kognitif Perilaku ini adalah mengoreksi self-belief yang salah atau
menyimpang yang mengakibatkan cara berpikir yang tidak rasional yang
selanjutnya akan menimbulkan gangguan psikologis. Menurut prespektif keyakinan
diri, Konseling Kognitif Perilaku betujuan untuk meningkatkan efikasi diri
(self-efficacy) individu (Kalodner, 1995; Ilfiandra, 2008; dalam Dody
Hartanto, 2012:51). Berdasarkan teori efikasi diri, individu memiliki harapan
untuk berhasil dalam menampilkan perilaku yang khusus dan harapan yang dimiliki
itu dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk mencoba perilaku baru dan
mempertahankan perubahan perilaku.
Berbagai teknik yang
digunakan dalam Konseling Kognitif Prilaku oleh Bond (2004; dalam Dody
Hartanto, 2012:56) dibagi kedalam tiga kategori, yaitu (a) restrukturisasi
kognitif, yang menckup terapi emosi rasional, pengajaran diri, dan terapi
kognitif, (b) terapi keterampilan dalam menangani situasi yang meliputi
pemodelan tertutup, latihan pengolahan kecemasan, dan suntikan stres, serta (c)
terapi pemecahan masalah yang berisikan pemecahan masalah perilaku dan
kepercayaan diri.
McLeod (2006; Mubyar, 2009;
dalam Dody Hartanto, 2012:57) menyebutkan bahwa beberapa teknik yang dapat
digunakan dalam Konseling Kognitif Perilaku, yaitu:
a.
Menata
keyakinan yang irasional,
b.
bibliotherapy (terapi
pustaka), yaitu menerima kondisi emosi internal
sebagai sesuatu yang menarik bukannya sesuatu yang menakutkan,
c.
mengulang kembali
penggunaan beragam pernyataan diri,
d.
mencoba penggunaan berbagai
pernyataan diri,
e.
mengukur perasaan,
f.
menghentikan pikiran,
g.
desensitisasi sistematis,
h.
pelatihan keterampilan
sosial,
i.
assertiveness skill
training atau pelatihan keterampilan agar dapat
bertindak dengan tegas,
j.
pemberian tugas rumah, dan
k.
in vivo exposure,
yaitu mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi
tersebut.
Penggunaan
KKP untuk mengurangi intensitas menyontek sudah dibuktikan oleh Mubarok (2009;
dalam Dody Hartanto, 2012: 34) bahwa menyontek di sekolah dasar memiliki
intensitas sedang dan rendah. Penelitian yang lain juga menemukan intensitas
menyontek di sekolah menengah pertama yang berada pada kategori sedang dan
tinggi.
2.
Konseling REBT Berbasis
Kelompok
REBT (Rasional Emotive
Behavior Therapy) dulu dikenal sebagai RET (Rational Emotive Therapy).
Pendekatan RET lebih ditekankan pada kognisi, perilaku dan aksi yang lebih
mengutamakan berpikir, menilai, menentukan, menganalisis dan melakukan sesuatu.
George & Crintiani (1990; dalam Dody Hartanto dan Boy Soedarmadji,
2013:131) menyatakan bahwa pendekatan RET ini menekankan pada proses berpikir
konseling yang dihubungkan dengan perilaku serta kesulitan psikologis dan
emosional.
Berkenaan dengan teknik
REBT, menurut Gladding (2004; dalam Dody Hartanto, 2012:60) dapat menggunakan
bebagai macam teknik. Dua yang utama adalah mengajari (teaching) dan
menantang (disputing). Mengajari menyangkut memberikan pemahaman tentang
ide dasar REBT dan memahami bahwa pikiran bertautan dengan emosi dan perilaku.
Sedangkan teknik menantang terbagi menjadi tiga, yaitu menantang pemikiran atau
keyakina, tantang imajiner, dan tantangan perilaku.
REBT tidak hanya betujuan
menghilangkan simtom, tetapi juga membantu orang memeriksa dan mengubah
beberapa nilai dasar mereka terutama yang menimbulakan gangguan (Dody Hartanto,
2012:67). Hal ini berkaitan dengan menghilangkan penilaian yang salah oleh
siswa terhadap perilaku menyontek.
G. Solusi dan Peran Guru
Guru
sebagai orang terdekat dalam pembelajaran disekolah, memiliki tanggung jawab
untuk membimbing siswanya dalam pelaksanaan ujian dan ulangan dengan memberikan
penguatan dan peneguhan terhadap sikap dan perilaku mereka yang positif, dimana
siswa dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tertib.
Dalam Agustin, M. (2011) bentuk
konkret dari peringatan BK dan Guru terhadap siswa yang menyontek yaitu:
1.
Teguran verbal, yaitu mendekati siswa tertentu dan berbicara dengan
suara pelan sehingga tidak terdengar oleh teman sekelasnya.
2.
Mengambil suatu hal yang digemari atau disukai siswa, seperti mengikuti
kegiatan tertentu atau diminta menyerahkan benda yang sedang dipegangnya.
3.
Mengisolasi siswa dari teman-temannya untuk waktu tidak terlalu lama,
seperti memindahkannya di ruang kosong atau tempat yang jarang dilalui orang.
4.
Ketika tindakan siswa susah keterlaluan dalam menyontek maka perlu ada
bimbingan oleh BK.
H. Hasil Penelitian Tentang Menyontek
Untuk
mengetahui penyebab, dampak positif, dan efek dari pengangguran yang dirasakan
oleh pelajar dan mahasiswa, kami membauat dan menyebarkan kuisioner dengan
format sebagai berikut :
Dari kuisioner yang kami
sebar pada pelajar SMP, SMA, Perguruan Tinggi dan responden lainnya ada 73
responden yang mengisi kuisioner ini. 82,2 persen responden adalah mahasiswa,
11 persen adalah siswa SMA, sisanya 6,8 persen adalah siswa SMP dan lainnya.
Jadi data responden didominasi oleh kalangan mahasiswa.
Responden yang mengisi
kuisioner kami terdiri dari 71,2 persen perempuan dan 28,8 persen laki – laki.
Dari data diatas,
ternyata didapat hasil bahwa 90,4% dari 73 pelajar (SMP dan SMA) kalangan
mahasiswa pernah menyontek, sisanya 9,6 persen tidak pernah menyontek dan
kurang yakin pernah penyontek.
Dari
data diatas pertanyaan,
mengapa anda menyontek alasan yang diungkapkan responden
adalah
1.
Karena terdesak dan terpaksa
2.
Tidak yakin dengan jawaban sendiri
3.
Ikut – ikutan dengan teman
4.
Soal ujian yang susah
5.
Menyontek karena merasa jawabannya keliru
6.
Menyontek karena lupa apa yang sudah dipelajari
7.
Menyontek karena belum belajar
8.
Bingung
9.
Menyontek karena malas berpikir
10.
Menyontek supaya dapat nilai yang bagus
Seberapa
sering anda menyontek ? Jawaban dari responden ini mengatakan
79,5 persen mengatakan jarang menyontek, 11 persen mengatakan sering, sekitar 5
persen tidak pernah menyintek, sisanya selalu menyontek.
Menurut
jawaban dari responden, dampak positif dan negatif dari mencontek diantaranya
dapat kami rangkum sebagai berikut :
1.
Positif
dapet jawaban yang bener, soalnya jadi terisi, mengetahui jawaban yang
sebelumnya kita tidak ketahui, positifnya nilai besar dan lulus tepat waktu
2. Melatih kelincahan mata, tahu mana teman yang baik bisa
diajak kerja sama
mempererat hubungan dengan teman dan melatih
kekompakan kelas
3. Tidak perlu berpikir dan mempersingkat waktu
pengerjaan
4. Tidak ada dampak positif dari mencontek melainkan
hanya menimbulkan dampak negatif yg membuat pelajar menjadi pemalas dan berbuat
curang dan mendidik menjadi seorang pembohong
5.
Hanya
cari aman aja walaupun sebenarnya tidak baik
Dampak Negatif :
1.
Takut
jadi kebiasaan /ketagihan untuk mencontek
2. Merusak kepercayaan diri dan benih ketidakjujuran,
membuat seseorang ketergantungan, kita tidak akan tahu apa apa, siswa menjadi
tidak mandiri, bergantung kepada orang lain, malas terlihat bodoh dan tidak
dapat mengasah diri, tidak percaya terhadap kemampuan diri sendiri.
3. Bisa membuat perasaan menyesal seumur hidup bagi beberapa
orang, dan mungkin pemicu kebohongan dan kecurangan-kecurangan dikehidupan
kedepannya tidak bisa jadi pemimpin yang
baik karena kejujuran yang kurang, memanjakan otak sehingga otak tumpul tidak
diasah, tidak berkembang dan akhirnya susah berfikir kritis, menipu diri
sendiri dan penilai(guru), mungkin berdosa, mendzolimi diri sendiri, tidak
diridhai Allah bisa jadi (wallahualam)
4. Jika terbiasa mencontek maka akan menimbulkan bibit
bibit koruptor
5. Terkena hukuman guru, kalau ketauan nilainya turun,
nilai yang didapat bukan cerminan kemampuan pribadi
Efek yang
dirasakan responden setelah menyontek adalah, 41, 1 persen merasa menyesal, 19,
2 persen merasa biasa saja, 16,4 persen merasa gelisah, 12,3 persen merasa
cemas, sisanya persen merasa ingin menyontek lagi.
Menurut
kami, dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku menyontek masih
menjamur dan menjadi penyakit yang akut di kalangan pelajar, terlihat dari 73
responden kuisioner bahwa sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi mencontek
tidak dapat dipisahkan dari yang namanya ujian. Penyebabnya banyak, namun
intinya adalah ketidaksiapan siswa untuk ujian, terdesak, tidak yakin dengan
jawaban sendiri dan malas berpikir. Perilaku menyontek memang lebih banyak
dampak negatifnya dari pada dampak positifnya. Dan parahnya lagi, dari hasil
kuisioner pada pertanyaan terakhir, cukup banyak yang menganggap menyontek hal
yang sudah biasa. Tentu ini merupakan hal yang gawat sebab, jika generasi
penerus bangsa kita adalah ahli ahli menyontek bagaimana negara Indonesia bisa
maju, karena menyontek adalah salah satu
pangkal dari kebohongan atau ketidakjujuran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menyontek merupakan sebuah kecurangan yang
dilakukan oleh seseorang dalam mengerjakan tugas dan ujian, baik itu di
sekolah, di perguruan tinggi, maupun di tempat
yang lainnya dan juga merupakan suatu penipuan atau melakukan perbuatan tidak
jujur. Menyontek mempunyai gejala-gejala dan bentuk yang bermacam-macam. Faktor
penyebab perilaku menyontek terbagi dua, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.
Menyontek membawa dampak negatif, baik kepada
individu maupun bagi masyarakat. Perbuatan menyontek memberikan dampak yang
buruk bagi siswa, karena dengan menyontek siswa cenderung tidak percaya diri
dan hanya mengandalkan orang lain. Selain itu, kebiasaan menyontek juga menjadikan seorang
siswa itu menjadi pribadi yang tidak jujur. Upaya penanggulangan perilaku
menyontek dapat dilakukan dalam berbagai segi, baik itu dari diri sendiri,
orang tua, guru, sekolah, dan guru BK atau konselor. Adapun upaya
penanggulangan perilaku menyontek oleh konselor dapat dilakukan dengan
menggunakan Konseling Kognitif Perilaku (KKP) dan konseling REBT berbasis
kelompok.
B. Saran
Saran terkait presentasi
tentang perilaku menyontek ini adalah: Siswa, orang tua, guru dan konselor
harus bekerja sama untuk menghindari dan menanggulangi perilaku menyontek.
Adapun saran untuk perbaikan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Diharapkan pendidik dapat memahami
perkembangan peserta didik dalam proses pendidikan.
2. Diharapkan pembaca dapat memanfaatkan makalah
ini sebaik-baiknya.
3. Perlunya pemahaman mengenai ilmu psikologi
pendidikan secara luas agar memahami kepribadian peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, M. (2011). Permasalahan
Belajar dan Inovasi Pembelajaran. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Hartanto, Dody. (2012). Bimbingan dan Konseling Menyontek:
Mengungkap Akar Masalah dan Solusinya. Jakarta Barat: Indeks Jakarta.
Hartono & Boy
Soedarmadji. (2013). Psikologi Konseling. Jakarta: Kencana.
Pustaka
Pheonix. (2009). Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Baru. Jakarta: PT. Media Pustaka Pheonix.c5
Sarwono,
Sarlito W. (2012). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.
Setyani, Uni. (2007).
Hubungan Antara Konsep Diri dengan Intensi Menyontek pada Siswa SMA Negeri 2
Semarang. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar