Senin, 11 Januari 2016

ANALISIS KASUS SENGKETA PULAU AMBALAT



NAMA           : AI KOKOY KOYYIMAH
KELAS          : XII AKUNTANSI 3
SMKN 2 SUMEDANG JAWA BARAT
ANALISIS KASUS SENGKETA PULAU AMBALAT

Informasi tentang konflik memperebutkan Pulau Ambalat antara Indonesia – Malaysia ini saya dapatkan dari salah satu cuplikan kabar berita yang disiarkan TVOne (Konflik Ambalat) dan SCTV (Pemerintah akan pertahankan Ambalat). Sengketa perebutan Pulau Ambalat ini adalah salah satu peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau masa Reformasi.
Sebelum kita menelaah asal – usul persengketaan Pulau Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia, mari kita telisik terlebih dahulu dimana sih Pulau Ambalat itu ? Ambalat merupakan perairan nusantara  yang luasnya mencakup 15.235 km2 yang  terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Nama Ambalat aslinya merupakan nama sebuah Desa yang terletak sekitar 49,6 km di sebelah barat Tarakan, Kalimantan Timur. Kemudian oleh Indonesia nama ini dipakai untuk menandai nama suatu blok konsesi eksplorasi migas lepas pantai. Posisi geografis kawasan Ambalat Timur adalah 20 45’ LU - 30 52’ dan 1180 17 BT – 1190 05’ BT.
Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo) yang pada akhirnya pada tahun 2002 Pulau Sipadan dan Ligitan itu pun jatuh ke tangan Malaysia. Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia. Saat itu, Pulau Ambalat tak dipermasalahkan karena memang mutlak masuk wilayah Indonesia.
Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Pernyataan PM Malaysia Abdullah Badawi yang mengklaim ambalat adalah wilayah Malaysia, hanya didasarkan pada alasan bahwa Petronas sudah melakukan eksplorasi di wilayah itu, alasan ini tentu tak bisa diterima karena sama sekali tidak masuk akal. Menurut pendapat saya, tindakan Malaysia itu memang tidaklah logis, karena apa yang ia lakukan itu telah melanggar hukum, termasuk perjanjian Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia. Secara sepihak Malaysia membuat peta sendiri dengan mencapluk wilayah Indonesia, tampaknya Malaysia ingin mencari masalah dengan Indonesia.
Sengketa Ambalat kembali memanas tahun 2005, saat itu Petronas melakukan hubungan kontrak dengan Shell, perusahaan minyak Multinasional Corporation. Menurut saya, saya berpikir bahwa tindakan Malaysia itu tak tahu malu, karena Malaysia seenaknya mengambil hak untuk melakukan hubungan kontrak terkait potensi minyak Ambalat, padahal jelas – jelas Ambalat adalah wilayah Indonesia.
Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia lagi dan lagi.
Berita tersebut diklarifikasi oleh Departemen Luar Negeri RI (Deplu) melalui siaran pers tanggal 25 Februari 2005, yang kemudian menimbulkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Suatu kejutan spontanitas kemudian terjadi di mana-mana. Tanpa menunggu komando, masyarakat di berbagai kota berdemonstrasi dan menghimpun sukarelawan untuk menghadapi Malaysia. Kemarahan tersebut dipicu oleh berbagai perasaan kecewa terhadap sikap Malaysia antara lain dalam masalah TKI dan terlepasnya pulau Sipadan – Ligitan dari kekuasaan RI bulan Desember 2002.
Pada saat Mahkamah Internasional memutuskan bahwa pulau Sipadan Dan Ligitan adalah milik Malaysia, keputusan itu didasarkan atas voting dengan memperhatikan asas efisiensi, bukan territorial, jadi siapa yang bisa memelihara ataau memberdayakan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan baik, maka ia yang berhak memiliki kedua pulau tersebut, dalam hal ini, Indonesia kalah dan mendapatkan voting yang sedikit karena beberapa alasan diantaranya pemerintah Malaysia telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu, dan lain sebagainya. Indonesia dianggap kurang bisa mengurus Sipadan dan Ligitan, malah didiamkan begitu saja, sehingga tak heran jika Malaysia pun merasa ingin memiliki Sipadan dan Ligitan. Namun karena sikapnya yang keterlaluan akhirnya malah timbul konflik.
Tanggal 24 Februari 2007 pukul 10.00 WITA, kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut, setelah itu KRI Welang besiaga, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.
Tanggal 25 Februari 2007 pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat kapal perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan KRI Welang disiagakan.
Tidak hanya itu, DPR juga beraksi dengan mengirimkan tim khusus yang diketuai oleh Yusron Ihza Mahendra  ke Malaysia untuk menyatakan sikap protes. Kapal – kapal perang Malaysia itu sudah terlalu jauh memasuki teritorial Indonesia, dan ini bukan pertama kali berdasarkan data TNI angkatan laut kapal dan pesawat angkatan perang Malaysia maupun polisi pantai Malaysia dalam periode Januari - April 2005  sudah 9 kali melakukan pelanggaran.
Ulah Malaysia mengklaim Sipadan – Ligitan kemudian Blok Ambalat, semata-mata berdasarkan peta 1979 yang diterbitkan secara sepihak dan sudah diprotes oleh Indonesia serta beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Adanya protes tersebut dan setelah diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, seharusnya Malaysia sudah tidak lagi menggunakan peta tersebut. Namun setelah berhasil merebut pulau Sipadan dan Ligitan maka Malaysia berani “mencoba” melangkah maju lagi.
Jika kita telaah semenjak Pulau Sipadan dan Ligitan berhasil direbut oleh Malaysia pada tahun 2002, nampaknya Malaysia semakin berani untuk menantang Indonesia. Malaysia ingin memiliki Pulau Ambalat. Saya rasa Malaysia terlalu berani dalam bertindak, tak punya malu, sangat menantang dan meremehkan Indonesia. Indonesia berusaha mempertahankan ambalat karena Indonesia trauma atas kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan yang kini telah jatuh ke tangan Malaysia. Belajar dari kasus Sipadan – Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia, Indonesia tidak boleh terlena dengan janji janji dan sikap manis Malaysia yang diam – diam menusuk dari belakang. Indonesia telah kalah pada persidangan Mahkamah Internasional di Den Haag serta kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan. Strategi ulur waktu (buying time) untuk pengumpulan data maupun perolehan dukungan internasional oleh Malaysia seperti dilakukan dalam menggarap kasus Sipadan – Ligitan sungguh sangat jitu. Jadi Indonesia jangan menganggap enteng kasus Konflik Pulau Ambalat ini.
Ambalat bukanlah sekedar persoalan benar - salah atau menang kalah, namun harus diselesaikan dengan jernih dan penuh pertimbangan. Langkah Presiden SBY yang pada 8 Maret 2005 melakukan peninjauan langsung ke wilayah Ambalat yang disengketakan itu sangat tepat. Peninjauan tersebut juga melengkapi komunikasi Presiden SBY dengan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi yang membuahkan kesamaan pendapat bahwa persengketaan di Ambalat harus dapat diatasi dengan cara damai.
Menghadapi Malaysia, Indonesia tidak boleh lengah sedetikpun atau mundur selangkahpun. Indonesia juga harus dapat membuktikan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur adalah wilayah Indonesia. Sengketa di Ambalat tidak akan terlepas dari ekses perebutan pulau Sipadan – Ligitan. Agar tidak terulang nasib kekalahan Indonesia dalam kasus Sipadan – Ligitan, maka kita tak perlu lagi basa-basi. Secara substansial, posisi Indonesia sudah cukup kuat. Namun dalam praktik harus tetap pada tingkat kewaspadaan tinggi, mengingat fakta bahwa sejujurnya Indonesia telah “kecolongan” atas lepasnya pulau Sipadan – Ligitan sebagai akibat dari suatu “kelalaian”.
Sehubungan dengan penegasan Presiden SBY bahwa konflik Ambalat diselesaikan melalui cara damai, kata kuncinya adalah bagaimana Indonesia berkemampuan dalam berdiplomasi. Faktor ini sangat penting manakala Indonesia tidak ingin mengulangi pengalaman pahit atas kekalahan dalam sengketa Sipada – Ligitan tersebut.
Perlu disadari bahwa melalui suatu perjuangan panjang Indonesia telah resmi menjadi salah satu dari sedikit negara kepulauan (archipelagic state) di dunia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Sebagai perwujudannya, maka dibuat UU No.6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No.4/1960. Amanat dalam UNCLOS 1982 antara lain adalah keharusan Indonesia membuat peta garis batas, yang memuat kordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Namun dalam UU No.6/1996 tidak memuat peta garis batas Indonesia.
Kewajiban ini tidak segera dilakukan oleh Indonesia, namun justru Malaysia yang berinisiatif membangun fasilitas dan kemudian mengklaim Sipadan – Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya. Ini terjadi sebagai akibat dari “kelalaian” dan terbukti, sebagaimana dikatakan oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh Indonesia.
Apa yang dilakukan Malaysia dapat diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk menetapkan Malaysia sebagai negara yang berhak atas pulau Sipadan dan Ligitan. Kabarnya Malaysia juga berusaha melakukan hal serupa terhadap Pulau Natuna, dengan cara membangun pulau tersebut sebagai daerah tujuan wisata.
Target yang dituju adalah kepemilikan Ambalat yang kaya dengan kandungan minyak tersebut. Spekulasi Malaysia selanjutnya adalah mencari celah-celah agar Indonesia mau diajak berunding dan bilamana perlu hingga ke Mahkamah Internasional. Di Den Haag nanti, Malaysia punya “bargaining position” atas peran Shell, perusahaan minyak Belanda. Sebagai perusahaan transnasional, pasti dibalik Shell terdapat kekuatan lain yang cukup berbobot dan berpengaruh. Sedangkan Indonesia hanya sendirian dan tidak mempunyai “bargaining position” yang menjanjikan.
Indonesia sebetulnya tidak harus bersusah payah menghadapi kasus Ambalat, seandainya sejak awal secara konsisten tetap mengawasi dan mengikuti perkembangan terhadap konsesi yang telah diberikan kepada beberapa perusahaan minyak asing di Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Di kawasan tersebut sejak tahun 1967 Indonesia telah membuka peluang bisnis kepada perusahaan minyak seperti Total Indonesie PSC, British Petroleum, Hadson Bunyu BV, ENI Bukat Ltd. dan Unocal, yang selama ini tidak ada reaksi apapun dari Malaysia. Jelasnya kegiatan Indonesia telah berlangsung jauh sebelum rekayasa Malaysia yang secara unilateral membuat peta tahun 1979.
Ada semacam kejanggalan bahwa pada tahun 1967 Pertamina memberikan konsesi minyak kepada Shell, namun oleh Shell kemudian diberikan lagi kepada perusahaan minyak ENI (Italia). Petunjuk ini perlu untuk diketahui, mengingat ada nuansa kesamaan dengan pemberian konsesi minyak oleh Petronas kepada Shell yang sekarang sedang diributkan itu. Pada saat ini Blok Ambalat dikelola ENI sejak tahun 1999 dan East Ambalat oleh Unocal (AS) tahun 2004 (Desember). Timbul pertanyaan, mengapa sampai terjadi tumpang tindih bahwa Malaysia dapat “menjual” asset negara lain yang adalah sebagai pemilik yang sah? Lagipula yang menjadi obyek masih sedang aktif dikelola. Sekali lagi Indonesia telah “kecolongan” akibat “kelalaian” juga.
Dari catatan tersebut di atas, inti persoalan timbulnya konflik adalah akibat akal-akalan Malaysia yang bersikukuh dengan peta tahun 1979 dan berbuntut perolehan hak atas Sipadan – Ligitan. Malaysia juga tidak jujur dalam memaknai secara utuh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 yang juga telah ikut ditandatanganinya.
Menanggapi protes Indonesia, Malaysia menjawab (25 Februari 2005) bahwa yang sedang disengketakan itu adalah perairan Malaysia. Meskipun menyatakan ingin menghindarkan konfrontasi dengan Indonesia, namun dalam berbagai kesempatan Menlu Malaysia, Syed Hamid Albar mengatakan bahwa Malaysia tidak akan berkompromi soal kepentingan teritorial dan kedaulatan.
Posisi Malaysia cukup jelas, yaitu tidak konfrontasi dengan Indonesia namun mengajak berunding dan harus melindungi keutuhan teritorial. Sedangkan Indonesia berkewajiban untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tibalah saatnya sekarang kedua negara bertetangga dan serumpun ini saling berhadapan untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. Perhitungan Malaysia tentu merujuk pengalaman masa lalunya untuk kembali memenangkan perundingan dengan Indonesia.
Mengantisipasi bilamana terjadi perundingan, diperkirakan akan terdapat tiga kemungkinan. Yaitu pertama, Indonesia tetap dapat mempertahankan haknya; kedua, Malaysia berhasil merebut Ambalat; atau ketiga, berunding dengan difasilitasi oleh pihak ketiga. Apabila gagal semuanya, bukan tidak mungkin bisa terjadi perang. Namun yang terakhir ini tentu sulit karena keduaanya terikat kepada kesepakatan Asean. Dalam hal mengundang pihak ketiga, dari pengalaman Sipadan – Ligitan kemungkinan Indonesia akan dirugikan. Pertemuan bilateral antara Menlu RI dan Menlu Malaysia pada Mei 2005 hasilnya belum banyak diketahui oleh publik.
Mengambil pelajaran dari proses perebutan Sipadan – Ligitan, maka dalam kasus Ambalat ini Indonesia harus lebih berhati-hati dan menjaga agar tidak terjebak. Dalam kasus Sipadan – Ligitan ternyata Mahkamah Internasional di Den Haag tidak mau melihat argumentasi hukum dan sejarah, namun lebih menekankan kepada keseriusan negara pihak dalam mengurus asset. Oleh karena itu dalam adu argumentasi nanti harus lebih diperkuat hingga dapat memerinci saat-saat paling mutakhir. Harus dikaji pula secara lebih mendalam sejauh mana peran dan keterlibatan Shell dalam kasus ini.
Sebagai negara yang jauh lebih besar dibandingkan Malaysia, Indonesia harus bersikap tegas dan konsisten. Pada kasus Sipadan – Ligitan, awalnya Indonesia terkesan sangat percaya diri. Namun setelah persidangan berlangsung, belakangan diketahui bahwa tim perunding Indonesia ternyata kurang persiapan dan kurang kordinasi. Oleh karenanya untuk ke depannya Indonesia harus lebih siap lagi.
Tim perunding Indonesia harus mampu menandingi semangat kebangsaan Malaysia. Sebelum memperoleh penegasan sikap Indonesia yang jelas, Malaysia sudah menyatakan tekadnya untuk “mempertahankan” teritorial dan kedaulatan. Padahal yang dimaksud “teritorial dan kedaulatan” tersebut masih dalam status sengketa dan masuk wilayah Indonesia. Dengan kata lain Malaysia bermaksud merebut teritorial negara lain. Sikap tegas Malaysia tersebut dapat diartikan bahwa Malaysia sudah siap untuk “menantang” Indonesia. Tinggal sekarang yang perlu dipikirkan adalah strategi Indonesia untuk menghadapi tantangan tersebut. Akhirnya dari semua itu, kemampuan Indonesia dalam berdiplomasi akan diuji kembali. Pekerjaan rumah bagi Deplu untuk mengukir sejarah kebesaran bangsa Indonesia.
Malaysia juga ternyata tidak hanya melakukan perebutan wilayah terhadap Indonesia saja, akan tetapi terhadap negara tetangga lainnya diantaranya perebutan kepulauan Spratly di Laut China Selatan, yang menuai protes oleh berbagai pihak seperti Piliphina, Cina dan Vietnam, sengketa  dengan Thailand atas wilayah Bukit Jeli di dekat sungai Kolok dan perairan dekat Teluk Thailand, persengketaan dengan Brunei Darussalam, Malaysia mengklaim wilayah Limbang yang juga diakui oleh Brunei. Perseteruan dengan Singapura terkait wilayah Pedra Branca pada tahun 1979. Dan semua kasus sengketa itu sebagian besar disebabkan karena perbuatan Malaysia yang selalu memutuskan perkara secara sepihak, mengaku – ngaku wilayah negara lain ke wilayahnya, melalui peta yang versinya sendiri.
Berikut ini saya memperoleh beberapa gambar yang menujukan wilayah sengketa Pulau Ambalat 



































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Persalinan Caesarku

🌷🌷🌷 Assalamualaikum wr wb.. ini adalah pengalaman persalinanku, semoga dapat diambil hikmahnya😇 Minggu 31 Juli jam 3 Pagi Jam 3 pagi kel...