NAMA : AI KOKOY KOYYIMAH
KELAS : XII AKUNTANSI 3
SMKN 2
SUMEDANG JAWA BARAT
ANALISIS KASUS SENGKETA PULAU AMBALAT
Informasi tentang konflik
memperebutkan Pulau Ambalat antara Indonesia – Malaysia ini saya dapatkan dari
salah satu cuplikan kabar berita yang disiarkan TVOne (Konflik Ambalat) dan
SCTV (Pemerintah akan pertahankan Ambalat). Sengketa perebutan Pulau Ambalat
ini adalah salah satu peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono atau masa Reformasi.
Sebelum kita menelaah asal – usul
persengketaan Pulau Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia, mari kita telisik
terlebih dahulu dimana sih Pulau Ambalat itu ? Ambalat merupakan perairan
nusantara yang luasnya
mencakup 15.235 km2 yang
terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat
perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur,
Indonesia. Nama Ambalat aslinya merupakan nama sebuah Desa yang terletak
sekitar 49,6 km di sebelah barat Tarakan, Kalimantan Timur. Kemudian oleh Indonesia nama ini dipakai
untuk menandai nama suatu blok konsesi eksplorasi migas lepas pantai. Posisi
geografis kawasan Ambalat Timur adalah 20 45’ LU - 30 52’
dan 1180 17 BT – 1190 05’ BT.
Persoalan
klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali
mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat
(kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo) yang pada
akhirnya pada tahun 2002 Pulau Sipadan dan Ligitan itu pun jatuh ke tangan
Malaysia. Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian
antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas
Kontinental Indonesia – Malaysia. Saat itu, Pulau Ambalat tak dipermasalahkan
karena memang mutlak masuk wilayah Indonesia.
Akan tetapi
pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas
kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan
maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya
yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik.
tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya
Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Pernyataan
PM Malaysia Abdullah Badawi yang mengklaim ambalat adalah wilayah Malaysia,
hanya didasarkan pada alasan bahwa Petronas sudah melakukan eksplorasi di
wilayah itu, alasan ini tentu tak bisa diterima karena sama sekali tidak masuk akal. Menurut
pendapat saya, tindakan Malaysia itu
memang tidaklah logis, karena apa yang ia lakukan itu telah
melanggar hukum, termasuk perjanjian Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia – Malaysia. Secara sepihak Malaysia membuat peta sendiri dengan
mencapluk wilayah Indonesia, tampaknya Malaysia ingin mencari masalah dengan
Indonesia.
Sengketa
Ambalat kembali memanas tahun 2005,
saat itu Petronas melakukan hubungan kontrak dengan Shell, perusahaan
minyak Multinasional Corporation. Menurut saya, saya berpikir bahwa tindakan
Malaysia itu tak tahu malu, karena Malaysia seenaknya mengambil hak untuk
melakukan hubungan kontrak terkait potensi minyak Ambalat, padahal jelas –
jelas Ambalat adalah wilayah Indonesia.
Indonesia
memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian
Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal
batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai
usaha Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia lagi dan lagi.
Berita tersebut diklarifikasi
oleh Departemen Luar Negeri RI (Deplu) melalui siaran pers tanggal 25 Februari
2005, yang kemudian menimbulkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat
Indonesia. Suatu kejutan spontanitas kemudian terjadi di mana-mana. Tanpa
menunggu komando, masyarakat di berbagai kota berdemonstrasi dan menghimpun
sukarelawan untuk menghadapi Malaysia. Kemarahan tersebut dipicu oleh berbagai
perasaan kecewa terhadap sikap Malaysia antara lain dalam masalah TKI dan
terlepasnya pulau Sipadan – Ligitan dari kekuasaan RI bulan Desember 2002.
Pada saat
Mahkamah Internasional memutuskan bahwa pulau Sipadan Dan Ligitan adalah milik
Malaysia, keputusan itu didasarkan atas voting dengan memperhatikan asas
efisiensi, bukan territorial,
jadi siapa yang bisa memelihara ataau memberdayakan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan dengan baik, maka ia yang berhak memiliki kedua pulau tersebut, dalam
hal ini, Indonesia kalah dan mendapatkan voting yang sedikit karena beberapa
alasan diantaranya pemerintah Malaysia telah melakukan tindakan administratif
secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan
pajak terhadap pengumpulan telur penyu, dan lain sebagainya. Indonesia dianggap
kurang bisa mengurus Sipadan dan Ligitan, malah didiamkan begitu saja, sehingga
tak heran jika Malaysia pun merasa ingin memiliki Sipadan dan Ligitan. Namun
karena sikapnya yang keterlaluan akhirnya malah timbul konflik.
Tanggal 24
Februari 2007 pukul 10.00 WITA, kapal perang Malaysia KD Budiman dengan
kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut,
pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan
kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut, setelah itu
KRI Welang besiaga,
kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.
Tanggal 25
Februari 2007 pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh 3.000
yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar
pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B
200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat
kapal perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan
KRI Welang disiagakan.
Tidak hanya
itu, DPR juga beraksi dengan mengirimkan tim khusus yang diketuai oleh Yusron
Ihza Mahendra ke Malaysia untuk
menyatakan sikap protes. Kapal – kapal perang Malaysia itu sudah terlalu jauh
memasuki teritorial Indonesia, dan ini bukan pertama kali berdasarkan data TNI
angkatan laut kapal dan pesawat angkatan perang Malaysia maupun polisi pantai
Malaysia dalam periode Januari
- April
2005 sudah 9 kali melakukan pelanggaran.
Ulah Malaysia mengklaim Sipadan – Ligitan kemudian
Blok Ambalat, semata-mata berdasarkan peta 1979 yang diterbitkan secara sepihak
dan sudah diprotes oleh Indonesia serta beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
Adanya protes tersebut dan setelah diberlakukannya Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982, seharusnya Malaysia sudah tidak lagi menggunakan peta
tersebut. Namun setelah berhasil merebut pulau Sipadan dan Ligitan maka
Malaysia berani “mencoba” melangkah maju lagi.
Jika kita telaah semenjak Pulau
Sipadan dan Ligitan berhasil direbut oleh Malaysia pada tahun 2002, nampaknya
Malaysia semakin berani untuk menantang Indonesia. Malaysia ingin memiliki
Pulau Ambalat. Saya rasa Malaysia terlalu berani dalam bertindak, tak punya
malu, sangat menantang dan meremehkan Indonesia. Indonesia berusaha
mempertahankan ambalat karena Indonesia trauma atas kehilangan pulau Sipadan dan
Ligitan yang kini telah jatuh ke tangan Malaysia. Belajar dari kasus Sipadan – Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia, Indonesia tidak boleh terlena dengan janji janji dan sikap manis Malaysia yang diam – diam menusuk dari belakang. Indonesia
telah kalah pada persidangan Mahkamah Internasional di Den Haag serta
kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan. Strategi ulur waktu (buying time) untuk
pengumpulan data maupun perolehan dukungan internasional oleh Malaysia seperti
dilakukan dalam menggarap kasus Sipadan – Ligitan sungguh sangat jitu. Jadi
Indonesia jangan menganggap enteng kasus Konflik Pulau Ambalat ini.
Ambalat bukanlah sekedar
persoalan benar - salah atau menang – kalah, namun harus diselesaikan dengan
jernih dan penuh pertimbangan. Langkah Presiden SBY yang pada 8 Maret 2005
melakukan peninjauan langsung ke wilayah Ambalat yang disengketakan itu sangat
tepat. Peninjauan tersebut juga melengkapi komunikasi Presiden SBY dengan
Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi yang membuahkan kesamaan pendapat
bahwa persengketaan di Ambalat harus dapat diatasi dengan cara damai.
Menghadapi Malaysia, Indonesia
tidak boleh lengah sedetikpun atau mundur selangkahpun. Indonesia juga harus
dapat membuktikan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur adalah wilayah
Indonesia. Sengketa di Ambalat tidak akan terlepas dari ekses perebutan pulau
Sipadan – Ligitan. Agar tidak terulang nasib kekalahan Indonesia dalam kasus
Sipadan – Ligitan, maka kita tak perlu lagi basa-basi. Secara substansial,
posisi Indonesia sudah cukup kuat. Namun dalam praktik harus tetap pada tingkat
kewaspadaan tinggi, mengingat fakta bahwa sejujurnya Indonesia telah
“kecolongan” atas lepasnya pulau Sipadan – Ligitan sebagai akibat dari suatu
“kelalaian”.
Sehubungan dengan penegasan Presiden
SBY bahwa konflik Ambalat diselesaikan melalui cara damai, kata kuncinya adalah
bagaimana Indonesia berkemampuan dalam berdiplomasi. Faktor ini sangat penting
manakala Indonesia tidak ingin mengulangi pengalaman pahit atas kekalahan dalam
sengketa Sipada – Ligitan tersebut.
Perlu disadari bahwa melalui
suatu perjuangan panjang Indonesia telah resmi menjadi salah satu dari sedikit
negara kepulauan (archipelagic state) di dunia berdasarkan Konvensi Hukum Laut
Internasional atau UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea)
tahun 1982. Sebagai perwujudannya, maka dibuat UU No.6/1996 tentang Perairan
Indonesia untuk menggantikan UU Prp No.4/1960. Amanat dalam UNCLOS 1982 antara
lain adalah keharusan Indonesia membuat peta garis batas, yang memuat kordinat
garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Namun
dalam UU No.6/1996 tidak memuat peta garis batas Indonesia.
Kewajiban ini tidak segera
dilakukan oleh Indonesia, namun justru Malaysia yang berinisiatif membangun
fasilitas dan kemudian mengklaim Sipadan – Ligitan sebagai bagian dari
wilayahnya. Ini terjadi sebagai akibat dari “kelalaian” dan terbukti,
sebagaimana dikatakan oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh
Indonesia.
Apa yang dilakukan Malaysia dapat
diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan Mahkamah Internasional
(International Court of Justice/ICJ) untuk menetapkan Malaysia sebagai negara
yang berhak atas pulau Sipadan dan Ligitan. Kabarnya Malaysia juga berusaha
melakukan hal serupa terhadap Pulau Natuna, dengan cara membangun pulau
tersebut sebagai daerah tujuan wisata.
Target yang dituju adalah
kepemilikan Ambalat yang kaya dengan kandungan minyak tersebut. Spekulasi
Malaysia selanjutnya adalah mencari celah-celah agar Indonesia mau diajak
berunding dan bilamana perlu hingga ke Mahkamah Internasional. Di Den Haag
nanti, Malaysia punya “bargaining position” atas peran Shell, perusahaan minyak
Belanda. Sebagai perusahaan transnasional, pasti dibalik Shell terdapat
kekuatan lain yang cukup berbobot dan berpengaruh. Sedangkan Indonesia hanya
sendirian dan tidak mempunyai “bargaining position” yang menjanjikan.
Indonesia sebetulnya tidak harus
bersusah payah menghadapi kasus Ambalat, seandainya sejak awal secara konsisten
tetap mengawasi dan mengikuti perkembangan terhadap konsesi yang telah
diberikan kepada beberapa perusahaan minyak asing di Blok Ambalat dan Ambalat
Timur. Di kawasan tersebut sejak tahun 1967 Indonesia telah membuka peluang
bisnis kepada perusahaan minyak seperti Total Indonesie PSC, British Petroleum,
Hadson Bunyu BV, ENI Bukat Ltd. dan Unocal, yang selama ini tidak ada reaksi
apapun dari Malaysia. Jelasnya kegiatan Indonesia telah berlangsung jauh
sebelum rekayasa Malaysia yang secara unilateral membuat peta tahun 1979.
Ada semacam kejanggalan bahwa
pada tahun 1967 Pertamina memberikan konsesi minyak kepada Shell, namun oleh
Shell kemudian diberikan lagi kepada perusahaan minyak ENI (Italia). Petunjuk
ini perlu untuk diketahui, mengingat ada nuansa kesamaan dengan pemberian konsesi
minyak oleh Petronas kepada Shell yang sekarang sedang diributkan itu. Pada
saat ini Blok Ambalat dikelola ENI sejak tahun 1999 dan East Ambalat oleh
Unocal (AS) tahun 2004 (Desember). Timbul pertanyaan, mengapa sampai terjadi
tumpang tindih bahwa Malaysia dapat “menjual” asset negara lain yang adalah
sebagai pemilik yang sah? Lagipula yang menjadi obyek masih sedang aktif
dikelola. Sekali lagi Indonesia telah “kecolongan” akibat “kelalaian” juga.
Dari catatan tersebut di atas,
inti persoalan timbulnya konflik adalah akibat akal-akalan Malaysia yang
bersikukuh dengan peta tahun 1979 dan berbuntut perolehan hak atas Sipadan –
Ligitan. Malaysia juga tidak jujur dalam memaknai secara utuh Konvensi Hukum
Laut Internasional 1982 yang juga telah ikut ditandatanganinya.
Menanggapi protes Indonesia,
Malaysia menjawab (25 Februari 2005) bahwa yang sedang disengketakan itu adalah
perairan Malaysia. Meskipun menyatakan ingin menghindarkan konfrontasi dengan
Indonesia, namun dalam berbagai kesempatan Menlu Malaysia, Syed Hamid Albar
mengatakan bahwa Malaysia tidak akan berkompromi soal kepentingan teritorial
dan kedaulatan.
Posisi Malaysia cukup jelas,
yaitu tidak konfrontasi dengan Indonesia namun mengajak berunding dan harus
melindungi keutuhan teritorial. Sedangkan Indonesia berkewajiban untuk menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tibalah saatnya sekarang kedua
negara bertetangga dan serumpun ini saling berhadapan untuk mempertahankan
kepentingan nasionalnya. Perhitungan Malaysia tentu merujuk pengalaman masa
lalunya untuk kembali memenangkan perundingan dengan Indonesia.
Mengantisipasi bilamana terjadi
perundingan, diperkirakan akan terdapat tiga kemungkinan. Yaitu pertama,
Indonesia tetap dapat mempertahankan haknya; kedua, Malaysia berhasil merebut
Ambalat; atau ketiga, berunding dengan difasilitasi oleh pihak ketiga. Apabila
gagal semuanya, bukan tidak mungkin bisa terjadi perang. Namun yang terakhir
ini tentu sulit karena keduaanya terikat kepada kesepakatan Asean. Dalam hal
mengundang pihak ketiga, dari pengalaman Sipadan – Ligitan kemungkinan
Indonesia akan dirugikan. Pertemuan bilateral antara Menlu RI dan Menlu
Malaysia pada Mei 2005 hasilnya belum banyak diketahui oleh publik.
Mengambil pelajaran dari proses
perebutan Sipadan – Ligitan, maka dalam kasus Ambalat ini Indonesia harus lebih
berhati-hati dan menjaga agar tidak terjebak. Dalam kasus Sipadan – Ligitan
ternyata Mahkamah Internasional di Den Haag tidak mau melihat argumentasi hukum
dan sejarah, namun lebih menekankan kepada keseriusan negara pihak dalam
mengurus asset. Oleh karena itu dalam adu argumentasi nanti harus lebih
diperkuat hingga dapat memerinci saat-saat paling mutakhir. Harus dikaji pula
secara lebih mendalam sejauh mana peran dan keterlibatan Shell dalam kasus ini.
Sebagai negara yang jauh lebih
besar dibandingkan Malaysia, Indonesia harus bersikap tegas dan konsisten. Pada
kasus Sipadan – Ligitan, awalnya Indonesia terkesan sangat percaya diri. Namun
setelah persidangan berlangsung, belakangan diketahui bahwa tim perunding
Indonesia ternyata kurang persiapan dan kurang kordinasi. Oleh karenanya untuk
ke depannya Indonesia harus lebih siap lagi.
Tim perunding Indonesia harus
mampu menandingi semangat kebangsaan Malaysia. Sebelum memperoleh penegasan
sikap Indonesia yang jelas, Malaysia sudah menyatakan tekadnya untuk
“mempertahankan” teritorial dan kedaulatan. Padahal yang dimaksud “teritorial dan
kedaulatan” tersebut masih dalam status sengketa dan masuk wilayah Indonesia.
Dengan kata lain Malaysia bermaksud merebut teritorial negara lain. Sikap tegas
Malaysia tersebut dapat diartikan bahwa Malaysia sudah siap untuk “menantang”
Indonesia. Tinggal sekarang yang perlu dipikirkan adalah strategi Indonesia
untuk menghadapi tantangan tersebut. Akhirnya dari semua itu, kemampuan
Indonesia dalam berdiplomasi akan diuji kembali. Pekerjaan rumah bagi Deplu
untuk mengukir sejarah kebesaran bangsa Indonesia.
Malaysia juga ternyata
tidak hanya melakukan perebutan wilayah terhadap Indonesia saja, akan tetapi
terhadap negara tetangga
lainnya diantaranya perebutan kepulauan Spratly di Laut China Selatan, yang
menuai protes oleh berbagai pihak seperti Piliphina, Cina dan Vietnam, sengketa dengan Thailand atas wilayah Bukit Jeli di
dekat sungai Kolok dan perairan dekat Teluk Thailand, persengketaan dengan Brunei
Darussalam, Malaysia mengklaim wilayah Limbang yang juga diakui oleh Brunei. Perseteruan
dengan Singapura terkait wilayah Pedra Branca pada tahun 1979. Dan semua kasus
sengketa itu sebagian besar disebabkan karena perbuatan Malaysia yang selalu memutuskan
perkara secara sepihak, mengaku – ngaku wilayah negara lain ke wilayahnya, melalui
peta yang versinya sendiri.
Berikut ini
saya memperoleh beberapa gambar yang menujukan wilayah sengketa Pulau Ambalat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar