TUGAS SEJARAH INDONESIA
KONFLIK YANG MEMICU
DISINTEGRASI
Diajukan untuk memenuhi tugas perbaikan ulangan
Sejarah Indonesia
Disusun oleh :
AI KOKOY KOYYIMAH
XII AKUNTANSI 3
SMK NEGERI 2 SUMEDANG
Jl. Arief Rakhman Hakim No. 59 Telp. (0261) 201531
Fax 210097 Kode pos : 45323
1.
Informasi Tentang Kasus Tolikara Papua
KASUS TOLIKARA PAPUA
HUMAS POLRI
BRIGJEN POL AGUS RIANTO - Kasus Tolikara Papua bermula pada hari Jumat, 17 Juli 2015(1 Syawal 1436 H) saat umat
Islam di Karubaga Kabupaten Tolikara hendak melaksanakan shalat Idul Fitri
bertempat di lapangan Koramil. Pendeta Marthen Jingga dan sdr. Harianto Wanimbo
(koorlap) yang menggunakan megaphone berorasi dan menghimbau kepada jamaah Idul
Fitri untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut.
Saat memasuki
Takbir ketujuh, massa Pendeta Marthen Jingga dan Harianto wanimbo (Koorlap)
mulai berdatangan dan melakukan aksi pelemparan batu dari bandara Karubaga dan
luar lapangan serta meminta secara paksa pembubaran Shalat ‘Id sehingga mengakibatkan
jamaah panik. Umat muslim yang hendak shalat kaget dan langsung melarikan diri
ke Koramil dan Pos 756/WMS untuk meminta perlindungan. Sepeninggal umat muslim
itu, masjid di Kabupaten Tolikara dibakar umat Nasrani sekitar pukul 07. 00
WIT, Jumat (17/7).
Pada sekitar
pukul 07.20 WIT, Aparat keamanan dari kesatuan Brimob dan Yonif 756 yang
melakukan pengamanan mencoba mengusir para pelaku hingga mengeluarkan tembakan
peringatan guna membubarkan massa yang melakukan pelemparan ke arah jamaah.
Menurut
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, inti persoalan adalah orang-orang nasrani
merasa terganggu dengan speaker masjid umat Muslim yang akan melakukan shalat
Idul Fitri. Umat Nasrani mengklaim suara speaker yang dipasang di tengah
lapangan menggangu ketenangan umum. Mereka kemudian meminta umat Muslim untuk
membubarkan kegiatan shalat Idul Fitri tersebut. Hal itu berujung pada perang
mulut antara kedua kubu. Saat itulah kelompok nasrani melempari masjid dengan
api hingga terbakar. Kepolisian Papua melaporkan, selain Masjid, enam rumah dan
13 kios dilaporkan ikut terbakar (ROL, 17/7/2015).
Bupati
Tolikara, Papua, Usman Wanimbow meminta maaf kepada umat muslim atas terjadinya
insiden penyerangan. "Saya selaku Bupati atas nama seluruh warga Tolikara
mohon maaf atas kejadian yang telah menyakiti umat muslim di Tolikara
ini," kata Usman di Karubaga, Sabtu (18/7/2015). Selain minta maaf Usman
juga membantah adanya pembakaran masjid secara sengaja saat terjadinya insiden
tersebut.
Menurutnya
yang terjadi adalah sebuah Mushala ikut terbakar ketika massa membakar rumah
dan kios milik warga, dan akibat aksi
pembakaran tersebut ada 63 unit rumah dan kios, 1 musala dan 1 mobil terbakar.
Penembakan aparat mengakibatkan 1 warga sipil meninggal dunia, 2 luka berat,
dan 8 luka ringan.
Sebelum
kejadian, ada sebuah surat selebaran yang mengatasnamakan Jemaat GIDI (Gereja
Injili di Indonesia) ditujukan kepada umat Islam Kabupaten Tolikara. Isinya
menyatakan bahwa pada tanggal 13-19 Juli 2015 ada seminar dan KKR Pemuda GIDI
Tingkat Internasional. GIDI melarang membuka Lebaran tanggal 17 Juli 2015 di
Wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga). Dilarang kaum muslimat memakai Yilbab
(Jilbab). Surat tersebut ditandatangani oleh Pendeta Mathen Jingga S.Th Ma dan
Pendeta Nayus Wenda S.Th. Surat tertanggal 11 Juli 2015 dan dikirimkan
tembusannya kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, serta
Danramil Tolikara.
Terkait surat
tersebut, Presiden GIDI, Dorman Wandikbo mengakui memang ada surat edaran
berisi larangan adanya kegiatan Lebaran bagi umat Islam. Namun dia menegaskan,
isi surat tersebut keliru dan sudah diklarifikasi sebelum peristiwa pembakaran
mushala terjadi. "Sudah saya klarifikasi bahwa isi surat itu tidak benar
dan salah. Karena tidak ada yang boleh melarang umat Islam beribadah di hari
raya," kata Dorman(Jumat (17/07). Dorman juga mengaku sudah memberitahukan
kepada GIDI Wilayah Tolikara selaku pembuat dan penanggungjawab keluarnya surat
edaran tersebut. "Gereja tidak melarang kegiatan ibadah umat muslim di
Wilayah Tolikara. Ini hanya kesalahfahaman dan miss komunikasi antara petugas
Polres Tolikara," kata Dorman.
Atas kejadian
tersebut, Direktur Jenderal Bimas Kristen, Oditha R Hutabarat, menyatakan, pihaknya
telah menghubungi ketua Sinode Gereja Injil di Indonesia (GIDI) untuk meminta
keterangan sekaligus meminta mereka menyampaikan permohonan maaf. "Saya
telah menghubungi ketua Sinode GIDI agar segera membuat surat penjelasan
kronologis kejadian sekaligus pernyataan permohonan maaf kepada umat Islam
Indonesia terkait dengan peristiwa itu," kata Hutabarat, di Jakarta, Jumat
(17/7). Diakui bahwa sejak lama kegiatan misionaris asing tanpa kenal lelah
banyak mengunjungi pedalaman Irian dalam
penyebaran agama Kristen.
Tokoh
masyarakat yang mewakili umat Islam dan umat Kristen di Kabupaten Tolikara,
Papua, sepakat untuk menyelesaikan secara adat terkait insiden yang menyebabkan
sejumlah kios dan mushala terbakar pada perayaan Idul Fitri beberapa waktu
lalu. Umat Islam dan Kristen di Tolikara sepakat untuk saling memaafkan.
Kesepakatan itu ditandatangani
bersama oleh Ustaz Ali Mukhtar (Imam Masjid Tolikara), Ustaz Ali Usman, Pendeta
Nayus Wonda, Pendeta Marthen Jingga, dan Pendeta Imanuel B Genongga pada Rabu (29/7/2015).
Kesepakatan penandatanganan itu juga
disaksikan oleh Ketua NU Provinsi Papua Tonny V M Wanggai, Presiden Gereja
Injili di Indonesia Pendeta Dorman Wandikbo, dan Ketua Forum Kerukunan Umat
Beragama Provinsi Papua Pendeta Lipiyus Biniluk.
Berikut salinan dokumen yang didapat Kompas.com dari
Ustaz Ali Mukhtar:
"Kesepakatan
Bersama Umat Islam dan Umat Kristen di Karubaga, Kabupaten Tolikara
Pada hari ini
Rabu, Tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Juli tahun Dua Ribu Lima Belas, kami
yang bertanda tangan di bawah ini, mewakili Umat Islam dan Umat Kristen di
Karubaga Kabupaten Tolikara, dengan ini menyatakan:
1. Insiden
pada hari raya Idul Fitri, Jumat 17 Juli 2015 di Karubaga Kabupaten Tolikara
bukan konflik agama, tetapi adanya miskomunikasi di antara kami, dan kami
menyatakan rasa duka atas jatuhnya korban baik jiwa maupun materiil.
2. Kami saling
maaf memaafkan dengan tulus.
3. Kami
sepakat penyelesaian yang kami tempuh adalah penyelesaian adat sehingga proses
hukum harus dihentikan.
4. Kami sepakat
membangun kembali mushalla.
5. Kami
sepakat untuk melaksanakan pemantauan kesepakatan secara berkala untuk merawat
kerukunan dan perdamaian.
6. Kami saling
menjaga, menghormati, dan menyerukan kepada seluruh umat beragama di Indonesia
agar tetap menghormati Umat GIDI dan Umat Islam untuk bebas menjalankan
ibadahnya seperti biasa.
7. Kami
menyerukan kepada pemerintah untuk menjamin kebebasan menjalankan agama dan
keyakinan beserta pendirian rumah ibadah.
Kesepakatan
ini lahir tidak hanya dari keresahan, keprihatinan, dan kecemasan kami, tetapi
berakar dari pengalaman hidup damai dan bermartabat antara umat Kristen dan
Islam di Karubaga Kabupaten Tolikara, selama bertahun-tahun serta harapan yang
lebih damai, adil, dan bermartabat bagi kami.
Jayapura, 29
Juli 2015
Kepala Polri
Jenderal Pol Badrodin Haiti meminta Kepala Polda Papua yang baru dilantik,
Brigjen Pol Paulus Waterpaw, untuk mengusut tuntas kasus kerusuhan di Tolikara,
Papua. Pengusutan
tuntas kasus itu, demi terciptanya stabilitas keamanan sosial dan politik di
Papua jelang pemilihan umum kepala daerah serentak pada Desember 2015.
Badrodin juga meminta Paulus
membangun kerukunan antar-umat beragama melalui tugas pokok dan fungsi
kepolisian. Badrodin ingin agar Papua menjadi contoh yang baik soal kerukunan
antarumat beragama.
Brigjen (Pol) Paulus Waterpauw pun
mengaku akan memprioritaskan penyelesaian kasus kerusuhan di Tolikara.
"Saya pikir prioritasnya adalah kasus Tolikara dulu," ujar Paulus di
ruang Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Jumat (31/7/2015). Setelah itu, fokus
kerja jajarannya adalah mempersiapkan pemilihan kepala daerah yang digelar
serentak pada Desember 2015.
2.
ANALISIS TERHADAP KASUS
TOLIKARA PAPUA
Kasus di
Tolikara, Papua (17 Juli 2015) berkaitan dengan disintegrasi ideologi, yakni
ideologi Islam dan Nasrani. Konflik seperti ini mungkin sudah tak asing lagi di
telinga kita. Sejak dulu sudah sering terjadi konflik yang mengusung nama agama
seperti konflik Ambon dan Poso, bahkan banyak juga kasus-kasus di di dunia internasional
seperti seperti penembakan Charlie Hebdo di Perancis, penembakan di Texas,
kasus ISIS, kasus di Lindt Cafe terkait
dengan agama, yaitu penghinaan Nabi Muhammad dan lain sebagainya. Kasus-kasus
tersebut seperti memojokkan umat muslim.
Menurut Humas
Polri Brigjen Pol.Agus Rianto Kasus
Tolikara Papua bermula pada
hari Jumat, 17 Juli 2015(1 Syawal 1436
H) saat umat Islam di Karubaga Kabupaten Tolikara hendak melaksanakan shalat
Idul Fitri bertempat di lapangan Koramil. Pendeta Marthen Jingga dan sdr.
Harianto Wanimbo (koorlap) yang menggunakan megaphone berorasi dan menghimbau
kepada jamaah Idul Fitri untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut.
Saat memasuki
Takbir ketujuh, massa Pendeta Marthen Jingga dan Harianto wanimbo (Koorlap)
mulai berdatangan dan melakukan aksi pelemparan batu dari bandara Karubaga dan
luar lapangan serta meminta secara paksa pembubaran Shalat ‘Id sehingga
mengakibatkan jamaah panik dan melarikan diri ke Koramil dan Pos 756/WMS untuk
meminta perlindungan. Sepeninggal umat muslim itu, masjid di Kabupaten Tolikara
dibakar umat Nasrani sekitar pukul 07. 00 WIT, Jumat (17/7).
Setelah saya
amati, jika hanya karena speaker umat muslim di hari raya yang membuat umat
nasrani merasa terganggu mengapa harus sampai terjadi tragedi yang merusak
sarana dan prasarana bahkan hingga menimbulkan korban jiwa ?
Apakah hanya
karena hal tersebut umat nasrani sampai marah besar ? Ini sungguh
mengkhawatirkan umat muslim di Tolikara. Menurut saya itu bukanlah inti
penyebabnya, mungkin saja ada sebuah rencana yang dipendam oleh umat nasrani di
Tolikara, apakah itu berawal dari dendam atau memang sudah ada rencana untuk
menghancurkan umat muslim.
Pada sekitar
pukul 07.20 WIT, Aparat keamanan dari kesatuan Brimob dan Yonif 756 yang
melakukan pengamanan mencoba mengusir para pelaku hingga mengeluarkan tembakan
peringatan guna membubarkan massa yang melakukan pelemparan ke arah jamaah.
Bupati
Tolikara, Papua, Usman Wanimbow meminta maaf kepada umat muslim atas terjadinya
insiden penyerangan. "Saya selaku Bupati atas nama seluruh warga Tolikara
mohon maaf atas kejadian yang telah menyakiti umat muslim di Tolikara
ini," kata Usman di Karubaga, Sabtu (18/7/2015). Selain minta maaf Usman
juga membantah adanya pembakaran masjid secara sengaja saat terjadinya insiden
tersebut.
Menurutnya
yang terjadi adalah sebuah Mushala ikut terbakar ketika massa membakar rumah
dan kios milik warga, dan akibat aksi
pembakaran tersebut ada 63 unit rumah dan kios, 1 musala dan 1 mobil terbakar.
Penembakan aparat mengakibatkan 1 warga sipil meninggal dunia, 2 luka berat,
dan 8 luka ringan.
Sebelum
kejadian, ada sebuah surat selebaran yang mengatasnamakan Jemaat GIDI (Gereja
Injili di Indonesia) ditujukan kepada umat Islam Kabupaten Tolikara. Isinya
menyatakan bahwa pada tanggal 13-19 Juli 2015 ada seminar dan KKR Pemuda GIDI
Tingkat Internasional. GIDI melarang membuka Lebaran tanggal 17 Juli 2015 di
Wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga). Dilarang kaum muslimat memakai Yilbab
(Jilbab). Surat tersebut ditandatangani oleh Pendeta Mathen Jingga S.Th Ma dan
Pendeta Nayus Wenda S.Th. Surat tertanggal 11 Juli 2015 dan dikirimkan
tembusannya kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, serta
Danramil Tolikara.
Terkait surat
tersebut, Presiden GIDI, Dorman Wandikbo mengakui memang ada surat edaran
berisi larangan adanya kegiatan Lebaran bagi umat Islam. Namun dia menegaskan,
isi surat tersebut keliru dan sudah diklarifikasi sebelum peristiwa pembakaran
mushala terjadi bahwa isi surat itu tidak benar.
Atas kejadian
tersebut, Direktur Jenderal Bimas Kristen, Oditha R Hutabarat, menyatakan,
pihaknya telah menghubungi ketua Sinode Gereja Injil di Indonesia (GIDI) untuk
meminta keterangan sekaligus meminta mereka menyampaikan permohonan maaf.
Jika kita
cermati, Presiden GIDI terlihat ketakutan saat dibongkar bahwa ada surat edaran
yang melarang umat muslim untuk merayakan Lebaran dan pelarangan memakai
jilbab. Presiden GIDI itu segera menjelaskan bahwa surat edaran itu salah
dan telah diklarifikasi sebelum ada
kejadian.Seperti ada kejanggalan dalam sikap dan perilaku GIDI terhadap
tanggapan mereka atas Tragedi Tolikara. Entah apa yang sebenarnya terjadi, dan
apa sebenarnya motif dari perbuatan umat nasrani itu.
Untuk
menyelesaikan masalah di Tolikara, tokoh masyarakat yang mewakili umat Islam
dan umat Kristen di Kabupaten Tolikara, Papua, sepakat untuk menyelesaikan
secara adat terkait insiden yang menyebabkan sejumlah kios dan mushala terbakar
pada perayaan Idul Fitri beberapa waktu lalu. Umat Islam dan Kristen di
Tolikara sepakat untuk saling memaafkan.
Kesepakatan
itu ditandatangani bersama oleh Ustaz Ali Mukhtar (Imam Masjid Tolikara), Ustaz
Ali Usman, Pendeta Nayus Wonda, Pendeta Marthen Jingga, dan Pendeta Imanuel B
Genongga pada Rabu (29/7/2015). Kesepakatan penandatanganan itu juga disaksikan
oleh Ketua NU Provinsi Papua Tonny V M Wanggai, Presiden Gereja Injili di
Indonesia Pendeta Dorman Wandikbo, dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama
Provinsi Papua Pendeta Lipiyus Biniluk. Isi perjanjian tersebut adalah :
"Kesepakatan Bersama Umat Islam dan Umat Kristen di
Karubaga, Kabupaten Tolikara
Pada hari ini Rabu, Tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Juli
tahun Dua Ribu Lima Belas, kami yang bertanda tangan di bawah ini, mewakili
Umat Islam dan Umat Kristen di Karubaga Kabupaten Tolikara, dengan ini
menyatakan:
1. Insiden pada hari raya Idul Fitri, Jumat 17 Juli 2015 di
Karubaga Kabupaten Tolikara bukan konflik agama, tetapi adanya miskomunikasi di
antara kami, dan kami menyatakan rasa duka atas jatuhnya korban baik jiwa
maupun materiil.
2. Kami saling maaf memaafkan dengan tulus.
3. Kami sepakat penyelesaian yang kami tempuh adalah
penyelesaian adat sehingga proses hukum harus dihentikan.
4. Kami sepakat membangun kembali mushalla.
5. Kami sepakat untuk melaksanakan pemantauan kesepakatan
secara berkala untuk merawat kerukunan dan perdamaian.
6. Kami saling menjaga, menghormati, dan menyerukan kepada
seluruh umat beragama di Indonesia agar tetap menghormati Umat GIDI dan Umat
Islam untuk bebas menjalankan ibadahnya seperti biasa.
7. Kami menyerukan kepada pemerintah untuk menjamin kebebasan
menjalankan agama dan keyakinan beserta pendirian rumah ibadah.
Kesepakatan ini lahir tidak hanya
dari keresahan, keprihatinan, dan kecemasan kami, tetapi berakar dari
pengalaman hidup damai dan bermartabat antara umat Kristen dan Islam di
Karubaga Kabupaten Tolikara, selama bertahun-tahun serta harapan yang lebih
damai, adil, dan bermartabat bagi kami.
Kepala Polri
Jenderal Pol Badrodin Haiti meminta Kepala Polda Papua yang baru dilantik, Brigjen
Pol Paulus Waterpaw, untuk menuntaskan kasus kerusuhan di Tolikara, Papua. Pengusutan tuntas kasus itu, demi
terciptanya stabilitas keamanan sosial dan politik di Papua jelang pemilihan
umum kepala daerah serentak pada Desember 2015.
Apabila
pemerintah tidak segera melakukan langkah penenteraman dan mengambil sikap
tegas terhadap para pelaku, maka bisa dimungkinkan muncul aksi pembalasan di
daerah lain. Penyelesaian kasus tidak cukup dengan komentar dan tanggapan
pejabat pemerintah dengan santai agar meningkatkan toleransi beragama, tetapi
langkah nyata sangat dibutuhkan. Perlu diingat bahwa kelompok teroris, JAT
ataupun ISIS misalnya bisa memanfaatkan momentum seperti ini, karena aksi
mereka bisa saja di dukung umat Islam lain yang merasakan dendam
Kesimpulannya,
sudah cukup para pejabat bersantai dan berlibur. Kini ada sebuah percikan
berbahaya dari Papua yang harus segera ditangani. Jelas dalam penerapan
Pancasila dan berdemokrasi masyarakat kalangan bawah belum memahaminya dengan
betul. Mereka hanya bersikukuh dengan apa yang dipercayainya dari tokoh-tokoh
agamanya masing-masing. Ini adalah tugas pemerintah beserta partai politik.
Tanpa adanya pendidikan dan pemahaman politik terhadap perkembangan zaman, maka
kita akan terbelit dengan konflik-konflik lokal.
Perlu langkah
cepat, antisipatif apalagi pada akhir tahun 2015 kita akan melaksanakan pilkada
serentak. Papua adalah wilayah yang perlu dimonitor karena mudahnya mereka
diprovokasi. Rendahnya pendidikan di sebuah daerah akan sangat mudah memicu aksi
kekerasan.