Senin, 14 Agustus 2017

Sebab – Sebab Kepemilikan Harta dalam ekonomi islam

EKONOMI ISLAM BAB 1
KELOMPOK 1 KELAS A PENDIDIKAN AKUNTANSI
“Sebab – Sebab Kepemilikan Harta”
Tanggal Presentasi    : Senin, 3 Agustus 2017
Anggota Kelompok :
Ai Kokoy Koyyimah 
Eli Sumarni                
Duroyatul Laela         
A.    WARIS
Diantara yang termasuk ke dalam kategori sebab – sebab kepemilikan harta adalah waris. Dalilnya telah ditetapkan berdasarkan nash Al – Quran yang qath’i (tegas). Waris ini mempunyai hukum hukum tertentu yang bersifat tawqiifi (harus diterima apa adanya) dan tidak memiliki illat (sebab penysyariatan hukum). Waris, meskipun nashnya menunjuk pada juz’iyaat (bersifat particular, cabang), juz’iyaat ini berupa garis – garis besar. Allah berfirman dalam Q.S Annisa [4] : 11) : “Allah menysyariatkan kepada kalian tentang (pembagian harta pusaka untuk) anak – anak kalian, yaitu bagian seorang anak laki – lak sama dengan bagian dua orang anak perempuan; jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua orang maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”.
Ketika Allah menyatakan demikian, dari firmannya tersebut, kita bisa memahami sejumlah hukum. Diataranya kita bisa memahami, bahwa anak laki – laki mendapatkan bagian yang lebih besar dari pada anak perempuan. Kita juga bisa memahami bahwa cucu laki – laki dari anak laki – laki akan diperlakukan sebagaimana anak laki – laki tidak ada. Karena cucu dari anak laki – laki termasuk ke dalam kategori kata awlaad (anak) pada ayat diatas. Berbeda dengan cucu laki – laki dari anak wanita, dia tidak bisa diperlakukan sebagaimana cucu laki – laki dari anak laki – laki. Sebab menurut bahasa cucu dari anak wanita tidak termasuk dalam kategori awlad (anak). Kita juga bisa memahami bahwa anak perempuan jika jumlahnya lebih dari dua orang, maka semuanya berhak atas 1/3 dari harta warisan. Nabi SAW bahkan telah menjadikan hukum bagi dua anak perempuan sama dengan hukum anak perempuan yang jumlahnya lebih dari dua orang. Ijma para sahabat Nabi pun telah menyepakati hal ini. Atas dasar inilah, dengan hukum dalam Al – Quran dan Sunnah serta ijma sahabat, waris merupakan salah satu sebab kepemilikan harta.
Waris adalah salah satu sarana untuk membagikan kekayaan. Dalam mempelajari waris, ada tiga kondisi yang menjadi pedoman dalam mendermakan kekayaan waris yaitu :
1.      Kondisi pertama : jika ahli waris yang ada bisa menghabiskan semua harta waris yang ditinggalkan mayit sesuai dengan hukum – hukum waris, maka semua harta waris yang ada akan dibagikan  kepada mereka.
2.      Kondisi kedua : jika tidak terdapat ahli waris yang bisa menghabiskan semua harta waris sesuai hukum – hukum waris, missal jika si mayit hanya meninggalkan seorang istri atau hanya meninggalkan seorang suami, maka istri yang ditinggalkan hanya berhak mendapatkan 1/4 harta pusaka, dan selebihnya diserahkan pada Baitul Mal, jika yang ditinggalkan seorang suami, maka dia hanya berhak mendapatkan 1/2 harta pusaka dan selebihnya diserahkan kepada Baitul Mal.
3.      Kondisi ketiga : jika tidak terdapat ahli waris sama sekali, maka semua harta pusaka yang ada, diserahkan kepada Baitul Mal atau negara.
Dengan demikian, waris adalah salah satu sebab kepemilikan yang telah disyariatkan. Karena itu siapa saja yang menerima harta waris, secara syar’i, berarti dia telah memilikinya. Walhasil waris adalah salah satu sebab kepemilikan yang telah diizinkan oleh syariat islam.
B.     KEBUTUHAN AKAN HARTA UNTUK MENYAMBUNG HIDUP
Diantara sebab – sebab kepemilikan yang lain adalah adanya kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup. Salah satu sebab yang bisa menjamin individu atau ummat untuk mendapatkan penghidupan adalah dengan bekerja. Apabila seseorang tidak mampu bekerja, negara harus mengusahakan pekerjaan untuknya. Rasulullah SAW bersabda : “Imam yang menjadi pemimpin manusia laksana pengembala. Dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya. (H.R Bukhari, dari Abdullah Ibnu Umar).
Jika seseorang tidak mampu bekerja karena sakit, terlampau tua, ataupun karena salah satu diantara sebab – sebab ketidakmampuannya, maka hidupnya wajib ditanggung oleh orang yang diwajibkan oleh syariah untuk menanggung nafkahnya. Apabila orang yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada, ataupun ada tetapi tidak mampu untuk menanggung nafkahnya, maka nafkah orang tersebut wajib ditanggung oleh Baitul Mal atau negara. Selain itu, dia juga mempunyai hak lain di Baitul Mal, yaitu zakat.
Allah berfirman dalam Q.S Al – Maarij [70] : 24
”orang – orang yang dalam hartanya tersedia bagian – bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa – apa (yang tidak mau meminta)”
Sebagaimana syariah telah menjamin hak seseorang untuk memiliki harta dalam rangka mempertahankan hidup berdasarkan ketentuan syariah, syariah juga telah memberikan hak tersebut dengan cara memberikan pembinaan. Al – Bazaar menuturkan riwayat dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabbda : “Tidaklah beriman kepadaku, orang yang kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, dan dia mengetahuinya”
C.    PEMBERIAN HARTA NEGARA KEPADA RAKYAT
Termasuk sebab kepemilikan adalah pemberian negara (i'tha' ad-dawlah) kepada rakyat yang diambil dari harta baitul mal, baik dalam rangka memenuhi hajat hidup ataupun demi memanfaatkan kepemilikan mereka. Untuk memenuhi hajat hidup contohnya memberi harta untuk menggarap pertanian mereka atau melunasi utang-utang.
Adapun terkait kebutuhan suatu komunitas (jamaah) untuk memanfaatkan hak milik individu, maka negara akan mengambil hak milik individu, baik dari hak miliknya ataupun dari harta individu yang tidak dimanfaatkan. Misal negara mengambil tanah yang tidak ada pemiliknya. Pemakaian kata pengambilan disini sama sekali tidak berhubungan dengan sistem feodalisme yang khas, yang tidak pernah dikenal dalam Islam.
D.    HARTA YANG DIPEROLEH TANPA KOMPENSASI HARTA ATAU TENAGA
Termasuk sebab kepemilikan adalah perolehan individu atas sejumlah harta tertentu tanpa kompensasi harta atau tenaga apapun. Perolehan semacam ini mencakup lima hal.
Pertama: Hubungan antarindividu  satu sama lain, baik hubungan ketika masih hidup, seperti hibah dan hadiah, ataupun hubungan sepeninggal mereka, seperti wasiat. Ibnu Asakir menuturkan riwayat dari Abu Hurairah yang mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai” (HR. Ibn Asakir)
Dengan demikian tidak ada bedanya memberi hibah dan hadiah antara kepada orang kafir dan kepda orang Islam. Artinya, memberi orang kafir hukumnya mubah, begitu pula menerima pemberian mereka hukumnya sama seperti menerima pemberian orang Islam. Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari ‘Asma binti Abi Bakar yang mengatakan:
“Aku pernah didatangi ibuku, padahal dia masih musyrik dan terikat dengan orang Quraisy (di Makkah), karena orang Quraisy telah mengambil janji mereka. Kemudian aku meminta fatwa kepada Rasulullah saw. aku bertanya, “Wahai Rasulullah, aku telah didatangi ibuku dan dia rindu. Apakah aku harus menyambung silaturahmi dengan ibuku?” Beliau menjawab, “Benar. Kunjungilah ibumu.” (HR. Muslim)
Sebagaimana hibah dan hadiah merupakan pendermaan harta pada saat seseorang masih hidup maka demikian halnya dengan wasiat, yakni merupakan pendermaan harta setelah seseorang meninggalkan dunia. Allah swt berfirmanL “Diwajibkan atas kalian, saat seseorang diantara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika meninggalkan harta yang banyak, hendaklah berwasiat untuk ibu-bapak dan karib-kerabatnya (QS. Al-Baqarah:180).
Dengan adanya hadiah, hibah, atau wasiat, seseorang bisa memiliki benda yang dihadiahkan, dihibahkan, ataupun diwasiatkan. Kedua: Menerima harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemadaratan yang menimpa seseorang, diyat (denda) atas orang yang terbunuh dan luka (dibunuh atau dilukai orang). Allah swt berfirman: “Siapa saja yang membunuh seorang mukmin karena keliru, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya. (QS. An-Nisa:92)
Imam An-Nasa’I telah menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw. pernah menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman. Surat itu dikirim melalui Amru bin Hazim, yang di dalamnya tertulis: “Di dalam (pembunuhan) jiwa itu ada diyat sebesar seratus ekor unta (HR. An-Nisa’i)
E.     HARTA YANG DIPEROLEH TANPA KOMPENSASI HARTA ATAU TENAGA
Hubungan pribadi, antara sebagian orang dengan sebagian yang lain, baik harta yang diperoleh karena hubungan ketika masih hidup, seperti hibbah dan hadiah, ataupun sepeninggal mereka, seperti wasiat. Tidak ada bedanya antara menghibahkan dan menghadiahkan kepada orang kafir dengan menghibahkan dan menghadiahkan kepada orang Islam. Karena memberi orang kafir hukumnya adalah mubah, begitu pula menerima pemberian mereka hukumnya sama seperti menerima pemberian orang Islam. Sebagaimana hibbah dan hadiah tersebut merupakan pendermaan harta pada saat masih hidup, maka begitu pula halnya dengan wasiat. Wasiat ini merupakan pendermaan harta setelah meninggal dunia. Allah SWT berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” [Q.S. Al Baqarah: 18].
1.      Pemilikan harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemudlaratan yang menimpa seseorang, semisal diyat. Diyat adalah ganti rugi (blood money) yang merupakan kompensasi dari pihak pelaku kejahatan kepada penderita. Ketentuan diyat ini diatur dengan tegas di dalam banyak nash Al Qur’an dan As Sunnah. orang yang terbunuh dan diyat luka karena dilukai orang. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya : “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. An Nisa: 92].
Sedangkan dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja, misalnya syibhul ‘amdi (seakan-akan disengaja) dan keliru, maka ahli waris orang yang terbunuh berhak mendapatkan diyat dari aqilah. ‘Aqilah adalah keluarga yang masih mempunyai hubungan darah dengan si pembunuh. ‘Aqilah adalah orang yang menanggung aqal. Aqal di sini maksudnya adalah diyat. ‘Aqilah adalah setiap orang yang masih mempunyai hubungan darah. Di antaranya adalah orang tua laki-laki si pembunuh hingga ke atas, berikut anak laki-laki si pembunuh hingga ke bawah, saudara-saudaranya, saudara-saudara ayahnya, serta saudara sepupu laki-laki dari saudara ayahnya. Jika si pembunuh tidak memiliki ‘aqilah maka diyat-nya diambil dari Baitul Mal. Karena Nabi SAW telah membayar diyat orang Anshar yang membunuh di Khaibar dari baitul mal.
2.      Memperoleh mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad nikah. Seorang wanita akan memiliki harta (mahar) ini dengan cara yang rinci sesuai dengan hukum-hukum pernikahan. Harta ini bukan merupakan kompensasi sebuah jasa, sebab jasa tersebut saling diberikan oleh suami istri, melainkan sebuah hak yang telah ditetapkan berdasarkan nash syara’. Allah SWT berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” [Q.S. An Nisa: 4].
3.      Luqathah (Barang Temuan). Apabila ada seseorang telah menemukan barang temuan, maka harus diteliti terlebih dahulu. Apabila barang tersebut memungkinkan untuk disimpan dan diumumkan, semisal emas, perak, permata dan pakaian, serta bukan milik orang ihram, maka barang temuan tersebut boleh dimiliki. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Dawud dari Abdullah Bin Amru Bin Ash, bahwa Nabi SAW ditanya tentang harta temuan:

فَقَالَ مَا كَانَ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمِيتَاءِ أَوْ الْقَرْيَةِ الْجَامِعَةِ فَعَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا فَادْفَعْهَا إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَأْتِ فَهِيَ لَكَ وَمَا كَانَ فِي الْخَرَابِ يَعْنِي فَفِيهَا وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ
Artinya :Barang yang ada di jalan atau kampung yang ramai itu tidak termasuk luqathah hingga diumumkan selama satu tahun. Apabila pemiliknya datang untuk memintanya maka berikanlah barang tersebut kepadanya. Apabila tidak ada maka barang itu adalah milikmu. Di dalam al kharab’ (barang tersebut), maksudnya di dalamnya, serta di dalam rikaz (harta temuan) terdapat ‘khumus’ (seperlima bagan dari harta temuan untuk dizakatkan).
[HR Abu Dawud, dari Abdullah bin Amr al ‘Ash].
Apabila barang temuan tersebut milik orang ihram, maka tidak dianggap luqathah. Sebab, barang temuan dari orang ihram itu hukumnya haram. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits yang diriwayatkan dengan sanad dari Abdurrahman Bin Utsman, bahwa Rasulullah SAW melarang luqathah milik orang haji. Juga tidak diperbolehkan mengambilnya, selain menyimpan untuk kemudian diserahkan kepada pemiliknya.
Apabila barang tersebut tidak memungkinkan disimpan, karena tidak tahan lama, seperti makanan dan buah, maupun yang lain, maka dia bisa memilih antara dimakan dan mengganti harganya, untuk diberikan kepada pemiliknya, apabila ketemu, dengan cara menjualnya dan menyimpan hasil penjualannya dalam kurun wantu selama satu tahun. Semuanya ini, terkait dengan barang temuan yang biasanya, kalau hilang pasti dicari. Semisal barang yang mempunyai nilai yang tidak akan dibiarkan oleh pemiliknya apabila hilang. Namun, apabila barang tersebut berupa barang yang kalau hilang tidak akan dicari, semisal kurma, sesuap makanan dan sebagainya, maka tidak perlu diumumkan, melainkan bisa dimiliki seketika.
4.      Santunan untuk khalifah dan orang-orang yang disamakan statusnya, yaitu sama-sama melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Santunan ini tidak termasuk kompensasi kerja mereka, melainkan kompensasi dari upaya menahan diri untuk bekerja demi melaksanakan tugas negara. Mereka bisa memiliki harta dengan langsung mengambilnya, karena Allah SWT telah menghalalkan harta tersebut bagi mereka. Abu Bakar, misalnya, telah mengambil harta sebagai santunan karena ia telah menahan diri dari bisnisnya ketika beliau diminta fokus pada urusan kaum Muslim. Para sahabat mendiamkannya.
Lima macam harta yaitu karena hubungan personal, kompensasi dari kemudlaratan, mahar, luqathah, serta santunan bagi pejabat pemerintahan. Inilah yang diperoleh oleh seseorang tanpa kompensasi apapun, baik berupa harta maupun tenaga. Jadi, pemerolehan dengan cara semacam ini adalah termasuk sebab pemilikan yang disyari’atkan, dimana dengan cara semacam ini, orang yang bersangkutan berhak memiliki harta yang diperolehnya.


Persalinan Caesarku

🌷🌷🌷 Assalamualaikum wr wb.. ini adalah pengalaman persalinanku, semoga dapat diambil hikmahnya😇 Minggu 31 Juli jam 3 Pagi Jam 3 pagi kel...