EKONOMI
ISLAM BAB 1
KELOMPOK 1 KELAS A PENDIDIKAN AKUNTANSI
KELOMPOK 1 KELAS A PENDIDIKAN AKUNTANSI
“Sebab
– Sebab Kepemilikan Harta”
Tanggal Presentasi : Senin, 3 Agustus 2017
Anggota Kelompok :
Ai Kokoy Koyyimah
Eli Sumarni
Duroyatul Laela
A.
WARIS
Diantara yang termasuk
ke dalam kategori sebab – sebab kepemilikan harta adalah waris. Dalilnya telah
ditetapkan berdasarkan nash Al – Quran yang qath’i
(tegas). Waris ini mempunyai hukum hukum tertentu yang bersifat tawqiifi (harus diterima apa adanya) dan
tidak memiliki illat (sebab
penysyariatan hukum). Waris, meskipun nashnya menunjuk pada juz’iyaat (bersifat particular, cabang), juz’iyaat ini berupa garis – garis besar. Allah berfirman dalam Q.S
Annisa [4] : 11) : “Allah menysyariatkan
kepada kalian tentang (pembagian harta pusaka untuk) anak – anak kalian, yaitu
bagian seorang anak laki – lak sama dengan bagian dua orang anak perempuan;
jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua orang maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan”.
Ketika Allah
menyatakan demikian, dari firmannya tersebut, kita bisa memahami sejumlah
hukum. Diataranya kita bisa memahami, bahwa anak laki – laki mendapatkan bagian
yang lebih besar dari pada anak perempuan. Kita juga bisa memahami bahwa cucu
laki – laki dari anak laki – laki akan diperlakukan sebagaimana anak laki –
laki tidak ada. Karena cucu dari anak laki – laki termasuk ke dalam kategori
kata awlaad (anak) pada ayat diatas.
Berbeda dengan cucu laki – laki dari anak wanita, dia tidak bisa diperlakukan
sebagaimana cucu laki – laki dari anak laki – laki. Sebab menurut bahasa cucu
dari anak wanita tidak termasuk dalam kategori awlad (anak). Kita juga bisa memahami bahwa anak perempuan jika
jumlahnya lebih dari dua orang, maka semuanya berhak atas 1/3 dari harta
warisan. Nabi SAW bahkan telah menjadikan hukum bagi dua anak perempuan sama
dengan hukum anak perempuan yang jumlahnya lebih dari dua orang. Ijma para
sahabat Nabi pun telah menyepakati hal ini. Atas dasar inilah, dengan hukum
dalam Al – Quran dan Sunnah serta ijma sahabat, waris merupakan salah satu
sebab kepemilikan harta.
Waris adalah
salah satu sarana untuk membagikan kekayaan. Dalam mempelajari waris, ada tiga
kondisi yang menjadi pedoman dalam mendermakan kekayaan waris yaitu :
1. Kondisi
pertama : jika ahli waris yang ada bisa menghabiskan semua harta waris yang
ditinggalkan mayit sesuai dengan hukum – hukum waris, maka semua harta waris
yang ada akan dibagikan kepada mereka.
2. Kondisi
kedua : jika tidak terdapat ahli waris yang bisa menghabiskan semua harta waris
sesuai hukum – hukum waris, missal jika si mayit hanya meninggalkan seorang
istri atau hanya meninggalkan seorang suami, maka istri yang ditinggalkan hanya
berhak mendapatkan 1/4 harta pusaka, dan selebihnya diserahkan pada Baitul Mal,
jika yang ditinggalkan seorang suami, maka dia hanya berhak mendapatkan 1/2
harta pusaka dan selebihnya diserahkan kepada Baitul Mal.
3. Kondisi
ketiga : jika tidak terdapat ahli waris sama sekali, maka semua harta pusaka
yang ada, diserahkan kepada Baitul Mal atau negara.
Dengan demikian, waris adalah salah satu sebab
kepemilikan yang telah disyariatkan. Karena itu siapa saja yang menerima harta
waris, secara syar’i, berarti dia telah memilikinya. Walhasil waris adalah
salah satu sebab kepemilikan yang telah diizinkan oleh syariat islam.
B.
KEBUTUHAN
AKAN HARTA UNTUK MENYAMBUNG HIDUP
Diantara sebab –
sebab kepemilikan yang lain adalah adanya kebutuhan akan harta untuk menyambung
hidup. Salah satu sebab yang bisa menjamin individu atau ummat untuk
mendapatkan penghidupan adalah dengan bekerja. Apabila seseorang tidak mampu
bekerja, negara harus mengusahakan pekerjaan untuknya. Rasulullah SAW bersabda
: “Imam yang menjadi pemimpin manusia
laksana pengembala. Dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya. (H.R
Bukhari, dari Abdullah Ibnu Umar).
Jika seseorang
tidak mampu bekerja karena sakit, terlampau tua, ataupun karena salah satu
diantara sebab – sebab ketidakmampuannya, maka hidupnya wajib ditanggung oleh
orang yang diwajibkan oleh syariah untuk menanggung nafkahnya. Apabila orang yang
wajib menanggung nafkahnya tidak ada, ataupun ada tetapi tidak mampu untuk
menanggung nafkahnya, maka nafkah orang tersebut wajib ditanggung oleh Baitul
Mal atau negara. Selain itu, dia juga mempunyai hak lain di Baitul Mal, yaitu
zakat.
Allah berfirman dalam
Q.S Al – Maarij [70] : 24
”orang – orang yang
dalam hartanya tersedia bagian – bagian tertentu bagi orang (miskin) yang
meminta dan orang yang tidak mempunyai apa – apa (yang tidak mau meminta)”
Sebagaimana syariah telah menjamin hak seseorang
untuk memiliki harta dalam rangka mempertahankan hidup berdasarkan ketentuan
syariah, syariah juga telah memberikan hak tersebut dengan cara memberikan
pembinaan. Al – Bazaar menuturkan riwayat dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW
bersabbda : “Tidaklah beriman kepadaku,
orang yang kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, dan dia mengetahuinya”
C. PEMBERIAN
HARTA NEGARA KEPADA RAKYAT
Termasuk
sebab kepemilikan adalah pemberian negara (i'tha' ad-dawlah) kepada rakyat yang
diambil dari harta baitul mal, baik dalam rangka memenuhi hajat hidup ataupun
demi memanfaatkan kepemilikan mereka. Untuk memenuhi hajat hidup contohnya
memberi harta untuk menggarap pertanian mereka atau melunasi utang-utang.
Adapun
terkait kebutuhan suatu komunitas (jamaah) untuk memanfaatkan hak milik
individu, maka negara akan mengambil hak milik individu, baik dari hak miliknya
ataupun dari harta individu yang tidak dimanfaatkan. Misal negara mengambil
tanah yang tidak ada pemiliknya. Pemakaian kata pengambilan disini sama sekali
tidak berhubungan dengan sistem feodalisme yang khas, yang tidak pernah dikenal
dalam Islam.
D.
HARTA
YANG DIPEROLEH TANPA KOMPENSASI HARTA ATAU TENAGA
Termasuk
sebab kepemilikan adalah perolehan individu atas sejumlah harta tertentu tanpa
kompensasi harta atau tenaga apapun. Perolehan semacam ini mencakup lima hal.
Pertama:
Hubungan antarindividu satu sama lain,
baik hubungan ketika masih hidup, seperti hibah dan hadiah, ataupun hubungan
sepeninggal mereka, seperti wasiat. Ibnu Asakir menuturkan riwayat dari Abu
Hurairah yang mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda: “Saling memberi hadiahlah
kalian, niscaya kalian akan saling mencintai” (HR. Ibn Asakir)
Dengan
demikian tidak ada bedanya memberi hibah dan hadiah antara kepada orang kafir
dan kepda orang Islam. Artinya, memberi orang kafir hukumnya mubah, begitu pula
menerima pemberian mereka hukumnya sama seperti menerima pemberian orang Islam.
Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari ‘Asma binti Abi Bakar yang mengatakan:
“Aku
pernah didatangi ibuku, padahal dia masih musyrik dan terikat dengan orang
Quraisy (di Makkah), karena orang Quraisy telah mengambil janji mereka.
Kemudian aku meminta fatwa kepada Rasulullah saw. aku bertanya, “Wahai
Rasulullah, aku telah didatangi ibuku dan dia rindu. Apakah aku harus
menyambung silaturahmi dengan ibuku?” Beliau menjawab, “Benar. Kunjungilah
ibumu.” (HR. Muslim)
Sebagaimana
hibah dan hadiah merupakan pendermaan harta pada saat seseorang masih hidup
maka demikian halnya dengan wasiat, yakni merupakan pendermaan harta setelah
seseorang meninggalkan dunia. Allah swt berfirmanL “Diwajibkan atas kalian,
saat seseorang diantara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika meninggalkan
harta yang banyak, hendaklah berwasiat untuk ibu-bapak dan karib-kerabatnya
(QS. Al-Baqarah:180).
Dengan
adanya hadiah, hibah, atau wasiat, seseorang bisa memiliki benda yang
dihadiahkan, dihibahkan, ataupun diwasiatkan. Kedua: Menerima harta sebagai
ganti rugi (kompensasi) dari kemadaratan yang menimpa seseorang, diyat (denda)
atas orang yang terbunuh dan luka (dibunuh atau dilukai orang). Allah swt
berfirman: “Siapa saja yang membunuh seorang mukmin karena keliru, hendaklah ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya. (QS. An-Nisa:92)
Imam
An-Nasa’I telah menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw. pernah menulis sepucuk
surat kepada penduduk Yaman. Surat itu dikirim melalui Amru bin Hazim, yang di
dalamnya tertulis: “Di
dalam (pembunuhan) jiwa itu ada diyat sebesar seratus ekor unta (HR. An-Nisa’i)
E.
HARTA YANG DIPEROLEH TANPA KOMPENSASI HARTA
ATAU TENAGA
Hubungan pribadi,
antara sebagian orang dengan sebagian yang lain, baik harta yang diperoleh
karena hubungan ketika masih hidup, seperti hibbah dan hadiah, ataupun
sepeninggal mereka, seperti wasiat. Tidak ada bedanya antara
menghibahkan dan menghadiahkan kepada orang kafir dengan menghibahkan dan
menghadiahkan kepada orang Islam. Karena memberi orang kafir hukumnya adalah
mubah, begitu pula menerima pemberian mereka hukumnya sama seperti menerima
pemberian orang Islam. Sebagaimana hibbah dan hadiah tersebut
merupakan pendermaan harta pada saat masih hidup, maka begitu pula halnya
dengan wasiat. Wasiat ini merupakan pendermaan harta setelah meninggal dunia.
Allah SWT berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ
تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” [Q.S. Al Baqarah: 18].
1. Pemilikan harta
sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemudlaratan yang menimpa seseorang,
semisal diyat. Diyat adalah ganti rugi (blood money) yang merupakan kompensasi
dari pihak pelaku kejahatan kepada penderita. Ketentuan diyat ini diatur dengan
tegas di dalam banyak nash Al Qur’an dan As Sunnah. orang yang terbunuh dan
diyat luka karena dilukai orang. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا
خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ
مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ
عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ
مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ
أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا
حَكِيمًا
Artinya : “Dan
tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya,
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” [Q.S. An Nisa: 92].
Sedangkan dalam kasus pembunuhan yang tidak
disengaja, misalnya syibhul ‘amdi (seakan-akan disengaja) dan keliru, maka ahli
waris orang yang terbunuh berhak mendapatkan diyat dari ‘aqilah. ‘Aqilah adalah keluarga yang
masih mempunyai hubungan darah dengan si pembunuh. ‘Aqilah adalah orang yang menanggung aqal. Aqal di sini maksudnya adalah
diyat. ‘Aqilah adalah setiap orang yang masih mempunyai hubungan darah. Di
antaranya adalah orang tua laki-laki si pembunuh hingga ke atas, berikut anak
laki-laki si pembunuh hingga ke bawah, saudara-saudaranya, saudara-saudara
ayahnya, serta saudara sepupu laki-laki dari saudara ayahnya. Jika si pembunuh
tidak memiliki ‘aqilah maka diyat-nya diambil dari Baitul Mal. Karena Nabi SAW telah membayar diyat orang Anshar yang membunuh di
Khaibar dari baitul mal.
2.
Memperoleh mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui
akad nikah. Seorang wanita akan memiliki harta (mahar) ini dengan cara yang
rinci sesuai dengan hukum-hukum pernikahan. Harta ini bukan merupakan
kompensasi sebuah jasa, sebab jasa tersebut saling diberikan oleh suami istri,
melainkan sebuah hak yang telah ditetapkan berdasarkan nash syara’. Allah SWT
berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya :
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” [Q.S. An Nisa: 4].
3.
Luqathah (Barang Temuan). Apabila ada seseorang telah menemukan barang
temuan, maka harus diteliti terlebih dahulu. Apabila barang tersebut
memungkinkan untuk disimpan dan diumumkan, semisal emas, perak, permata dan
pakaian, serta bukan milik orang ihram, maka barang temuan tersebut boleh
dimiliki. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Dawud dari Abdullah Bin Amru Bin
Ash, bahwa Nabi SAW ditanya tentang harta temuan:
فَقَالَ مَا كَانَ
مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمِيتَاءِ أَوْ الْقَرْيَةِ الْجَامِعَةِ فَعَرِّفْهَا
سَنَةً فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا فَادْفَعْهَا إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَأْتِ فَهِيَ
لَكَ وَمَا كَانَ فِي الْخَرَابِ يَعْنِي فَفِيهَا وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ
Artinya : “Barang yang ada di jalan atau kampung yang ramai
itu tidak termasuk luqathah hingga diumumkan selama satu tahun. Apabila
pemiliknya datang untuk memintanya maka berikanlah barang tersebut kepadanya.
Apabila tidak ada maka barang itu adalah milikmu. Di dalam al kharab’ (barang
tersebut), maksudnya di dalamnya, serta di dalam rikaz (harta temuan) terdapat
‘khumus’ (seperlima bagan dari harta temuan untuk dizakatkan).
[HR Abu Dawud, dari Abdullah bin Amr al ‘Ash].
Apabila
barang temuan tersebut milik orang ihram, maka tidak dianggap luqathah. Sebab, barang
temuan dari orang ihram itu hukumnya haram. Sebagaimana yang dinyatakan di
dalam hadits yang diriwayatkan dengan sanad dari Abdurrahman Bin Utsman, bahwa
Rasulullah SAW melarang luqathah milik orang haji. Juga tidak diperbolehkan
mengambilnya, selain menyimpan untuk kemudian diserahkan kepada pemiliknya.
Apabila
barang tersebut tidak memungkinkan disimpan, karena tidak tahan lama, seperti
makanan dan buah, maupun yang lain, maka dia bisa memilih antara dimakan dan
mengganti harganya, untuk diberikan kepada pemiliknya, apabila ketemu, dengan
cara menjualnya dan menyimpan hasil penjualannya dalam kurun wantu selama satu
tahun. Semuanya ini, terkait dengan barang temuan yang biasanya, kalau hilang
pasti dicari. Semisal barang yang mempunyai nilai yang tidak akan dibiarkan
oleh pemiliknya apabila hilang. Namun, apabila barang tersebut berupa barang
yang kalau hilang tidak akan dicari, semisal kurma, sesuap makanan dan
sebagainya, maka tidak perlu diumumkan, melainkan bisa dimiliki seketika.
4.
Santunan untuk khalifah dan orang-orang yang disamakan statusnya, yaitu
sama-sama melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Santunan ini tidak termasuk
kompensasi kerja mereka, melainkan kompensasi dari upaya menahan diri untuk
bekerja demi melaksanakan tugas negara. Mereka bisa memiliki harta dengan
langsung mengambilnya, karena Allah SWT telah menghalalkan harta tersebut bagi
mereka. Abu Bakar, misalnya, telah mengambil harta sebagai santunan karena ia
telah menahan diri dari bisnisnya ketika beliau diminta fokus pada urusan kaum
Muslim. Para sahabat mendiamkannya.
Lima macam harta yaitu karena hubungan personal, kompensasi dari
kemudlaratan, mahar, luqathah, serta santunan bagi pejabat pemerintahan. Inilah
yang diperoleh oleh seseorang tanpa kompensasi apapun, baik berupa harta maupun
tenaga. Jadi, pemerolehan dengan cara semacam ini adalah termasuk sebab
pemilikan yang disyari’atkan, dimana dengan cara semacam ini, orang yang
bersangkutan berhak memiliki harta yang diperolehnya.