Wasiat
Ayah
Aku sedang duduk disamping
Ibuku, baru saja kusimpan seember air di depan teras rumahku yang bercahaya
selepas aku bersihkan. Kami rehat sejenak, Ibuku tampak begitu lelah karena
belakangan ini ia dan Ayahku bekerja keras di sawah.
Tiba – tiba Ibuku menyodorkan
selembar kertas berwarna biru muda, dan berkata “Ra, ini ada undangan dari
temanmu…” aku penasaran, lalu aku segera mengambil undangan itu, ternyata
undangan pernikahan. “ siapa yang menikah ya..? “ gumamku dalam hati. Setelah
kubuka, ternyata Willy, temanku saat kecil. Ia adalah teman baikku.
Badanku lemas setelah melihat
undangan itu. Bukan karena aku kecewa dengan acara pernikahannya, aku bahagia
jika memang Allah sudah mempertemukannya dengan jodohnya, yang akan mendampingi
Willy selamanya, dan mencintai serta membahagiakannya. Aku turut bahagia, lagi
pula aku berpikir bahwa jodohnya pasti laki – laki yang ganteng dan baik hati, sebab aku tahu benar
siapa Willy, ia adalah temanku yang cantik, baik dan rendah hati.
Aku lemas, karena aku teringat
akan semua kenangan bersama dengan Willy. Dulu, saat kita berumur lima tahun
aku, Willy, dan teman – teman lainnya sering pergi belajar mengaji bersama di
Mushala, demikian juga saat Ramadhan tiba, saat salat tarawih kita selalu bersama
– sama, jajan bersama, main pun bersama.
Waktu begitu cepat berlalu,
sebentar lagi Willy akan pergi jauh bersama dengan suaminya. Aku tak bisa
menemuinya lagi semauku, biasanya jika aku kesepian di rumah, aku keluar dan
pergi ke rumah Willy. Memang tak terlalu jauh jarak rumahku dengannya, hanya
berjalan lima menit melewati tiga rumah tetangga.
Mungkin aku tak bisa lagi
menemuinya saat aku kesepian, apalagi mengajaknya bermain ke bukit di belakang
rumah, atau ke sungai jernih di dekat bukit itu. Aku juga takan bisa bercerita
tentang kisah cintaku padanya dan meminta pendapatnya apa yang harus aku
lakukan. Itulah yang aku pikirkan saat ini.
Sambil memegang secarik kertas
undangan itu aku melamun. “ Duk !!!” suara buah mangga yang jatuh dari pohon di
pekaranganku mengagetkanku. Aku pun berhenti melamun, tapi aku terus memikirkan
Willy. Apalagi acara pernikahannya itu tinggal menghitung hari.
Sampai esok harinya aku masih
memikirkan Willy. Mengapa ia segera menikah ? bukankah Willy masih bekerja di
sebuah Toko di Ibu Kota bersama dengan saudaranya ? apakah ia sudah
mempertimbangkan semua ini ? padahal biasanya untuk hal yang serius ia suka
menemuiku dan meminta pendapatku apalagi perihal pernikahan. Banyak sekali
pertanyaan yang terbersit dalam benakku, aku takut pernikahannya itu atas dasar
paksaan orang tuanya.
Aku semakin risau, karena aku
takut terjadi sesuatu yang buruk pada Willy. Aku pun bertekad untuk menemuinya
hari ini juga. Sore hari saat matahari tenggelam di ufuk barat, aku berjalan
menuju rumah Willy. Ternyata Willy ada di rumahnya, ia sedang duduk di teras dengan adiknya. “Willy ! “ aku memanggilnya dari kejauhan. “ Hai Zahra
! ayo kesini ! “ ia tersenyum
sambil melambaikan tangannya padaku.
Aku segera menghampirinya aku
memeluknya karena sangat merindukannya. Sekarang ia makin cantik badannya juga
agak gemuk. Mungkin hidup di perkotaan memang menyenangkan. Aku menanyakan
kabarnya, begitu juga dia. Kami memang baru bertemu lagi setelah dua tahun
berlalu, aku sibuk dengan sekolahku, Willy juga sibuk bekerja di Jakarta. Aku
pun langsung berbicara tentang apa yang ingin aku tanyakan. “ Willy, kemarin
aku menerima undangan pernikahanmu aku senang kau akan segera menikah.. tapi…”.
“oh itu.. syukurlah kalau undangan itu sudah kamu terima, tapi apa Ra..?
“Willy, ini tentang pernikahanmu kamu tahu kan, jika kita
punya masalah kita selalu bertemu dan menceritakan isi hati kita..” ungkapku. “
ya tentu Zahra, kau adalah teman baikku aku percaya padamu, tapi ada apa dengan
pernikanhanku..?”
“kenapa
kau tidak seperti biasanya, mencurahkan kembali isi hatimu padaku…? Untuk pilihan
pendamping hidupmu dan itu sangat penting..?”
Willy tersenyum, namun dalam hatinya seolah ada duri
yang mengganjal lalu ia menatapku dan berkata”Ayahku meninggal di Maluku, dan
ayah meninggalkan wasiat agar lusa, aku menikah dengan Rafar”
Mataku berlinang.
-TAMAT